SUKABUMIUPDATE.com - Festival lorong waktu (sejarah) Soekaboemi Tempo Doeloe (STD) akan berlangsung Sabtu hingga Minggu (5-6/10/2019) besok di wisma wisnuwardhani di Jalan Bhayangkara no. 129 (sebelah PLN) Kota Sukabumi. Lokasi ini (Wisma Wisnuwardhani) dipilih karena memiliki banyak kisah tentang sejarah Sukabumi baik sebagai kawasan, budaya dan masyarakat.
Dalam tulisannya di sukabumixyz.com edisi April 2019, Irman Firmansyah Ketua Panitia Festival STD sekaligus ketua komunitas pecinta sejarah Sukabumi Yayasan Kipahare, dan pengurus Soekaboemi Heritage menceritakan banyak kisah terkait bangunan bergaya kolonial ini. “Rumah milik anggota dewan kota,” tulisnya mengawali ertikel tentang Wisma Wisnuwardhani.
Entah kapan tepatnya rumah ini dibangun, namun saat membuka satu per satu jendela wisma ini, terbayang aktivitas dan kesibukan pada masa lalu di rumah ini. Berdasarkan berita koran pada masa itu, sang pemilik rumah bernama P. Beijen, seorang Eropa yang disebut sebagai warga tua terhormat di Sukabumi.
Beijen adalah sosok yang disegani di Sukabumi karena selain berbisnis, ia juga aktif di pemerintahan dan komunitas-komunitas Eropa. Salah dua aktivitas bisnisnya adalah menjadi agen perusahaan asuransi jiwa bernama “Dordrect”, dan menjadi direktur NV Vraagen en Aanbod.
BACA JUGA: Soekaboemi Tempo Doeloe, Serunya Wisata Lorong Waktu, Cek Tanggal dan Lokasinya!
Di lembaga pemerintahan, Beijen tercatat pernah menjadi anggota Dewan Kota Sukabumi dan Dewan Kabupaten Sukabumi. Ia juga menjadi Ketua Divisi Uni Indo Europeanesch (Indo Europeeesch Verbond/IEV) dan aktif di gereja Katolik. Kesibukannya masih ditambah dengan hobinya memainkan piano, dan kerap tampil dalam aktivitas pertemuan komunitas atau keagamaan mewakili Sukabumi.
Sebagai tokoh masyarakat yang disegani, Beijen juga dikenal karena memperjuangkan hak-hak pekerja Sukabumi dengan usulan peninjauan upah. Selain itu, ia juga memprakarsai peningkatan sumber daya manusia di Departemen Sosial dan pernah mengkritisi model pengajaran di Sukabumi.
Sementara itu, sang istri aktif berkegiatan mendukung suaminya, seperti menjadi Ketua IEEVO, perkumpulan kerajinan tangan yang rutin mengadakan pelatihan seminggu dua kali di Alun-alun Kota Sukabumi. Keduanya dinilai pasangan dermawan karena sering menjamu tamu yang mengunjunginya di Sukabumi, termasuk suka mendonasikan uangnya untuk penyelenggaraan acara hiburan dan musik.
Pasca meninggalnya Beijen pada 6 Mei 1930 dalam usia 61 tahun, keluarganya membuat pengumuman penjualan rumah tersebut. Penjualan dilakukan melalui Bataviaasch Nieuwsblaad yang disebutkan sebagai bangunan indah, berisi beberapa paviliun di sebelah bangunan utama yang akan dijual kepada publik pada 1 Agustus 1931 itu.
Halaman depan Gedung Wisma Wisnu Wardhani, Jalan Bhayangkara, Kecamatan Cikole, Kota Sukabumi. (Foto: Dok.sukabumiupdate.com).
“Sibuknya rumah melayani orang-orang yang bermasalah dengan hukum,” sambung Firman dalam tulisan tersebut untuk memisahkan pemilik bangunan selanjutnya setelah keluarga Beijen.
Dalam perkembangan Kota maupun Kabupaten Sukabumi, wisma pernah dihuni notaris Hendrik (Harry) Schotel yang sebelumnya berpraktek di Batavia. Schotel menggantikan notaris sebelumnya H. Tollens sebagai notaris hukum sipil dan mastervendum pada awal Desember 1922.
Tollens sendiri kemudian diangkat menjadi notaris Bandung menggantikan Tellema hingga meninggal pada Mei 1926. Pergi meninggalkan Batavia menuju Sukabumi dengan segenggam harapan, Schotel menemukan sebuah bangunan strategis yang cocok untuk urusan kenotariatan, dan dengan lokasi yang tidak jauh dari sekolah polisi, berada di sebelah utara grote postweg sehingga mudah diakses dari Selabatoeweg.
Dirumah itu semua urusan administrasi dilakukan, mulai aktivitas jual beli, beralihnya kepemilikan tanah, bangunan, hingga akte kelahiran. Urusan perkebunan yang membentang dari perbatasan Cianjur hingga perbatasan Bogor.
BACA JUGA: Mencengangkan! Gorong-gorong Bawah Tanah di Kota Sukabumi Dibangun Abad 19
Belum lagi dokumen-dokumen hukum dari kaki Gunung Gede hingga pantai Palabuhanratu, dari penduduk biasa hingga instansi pemerintahan, semua diurus di rumah ini. Setiap orang yang berurusan dengan perjanjian urusan tanah di Sukabumi saat itu, dipastikan melalui Schotel, karena pada masa pemerintahan Hindia Belanda menganut notaris tunggal untuk wilayah-wilayah.
Kuota notaris ditetapkan pemerintah supaya notaris mendapatkan penghasilan layak. Sukabumi saat itu cukup banyak ditinggali para pengusaha perkebunan yang selalu berurusan dengan hak guna usahanya. Selain itu, pasca ditetapkannya Sukabumi sebagai gemeente, transaksi jual beli tanah dan rumah pun kian meningkat aktivitasnya.
Schotel mencapai puncak kariernya saat mulai aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, dia terjun ke dunia olah raga sepak bola dan menjadi Ketua kehormatan saat bertanding dengan tim dari kota lain. Schotel juga pernah menjadi Presiden Asosiasi Indo Eropa (IEV) dan berkontribusi penting pada bisnis perkebunan di Sukabumi. Keberhasilannya tak lepas dari kepiawaiannya merangkul para pengusaha dan juga para pejabat pemerintahan.
Jalan hidup seseorang tentu tidak bisa ditebak, manusia hanya bisa merencanakan, namun Tuhan pulalah yang menentukan. Schotel sempat mengalami shock tatkala terjadi kecelakaan yang menimpa putrinya yang baru beruia 17 tahun di Batavia, pada Mei 1928. Saat itu, anak gadis bersama sopir dan ibunya dengan ditemani Pepping (nama aslinya Ghanda Suwasti, seorang penari India) berangkat ke Batavia dari Sukabumi dengan mobil Buick tujuh seat.
BACA JUGA: Pabrik Teh Parakansalak Riwayatmu Kini
Sekira pukul 14.00, mobil terus melaju melewati persimpangan Menteng-Nieuw Gondangdia, namun Pepping tidak menyadari saat trem listrik melintas di depannya. Saat melintasi rel trem, Pepping kaget dan mengerem mendadak untuk menghindari pedagang yang menyebrang tiba-tiba. Akibatnya, trem menghantam bagian belakang mobil hingga terlempar dan menabrak tiang lampu lalu lintas. Mobilpun rusak parah di bagian depan dan belakang, sedangkan trem tergelincir.
Putri Schotel terlempar ke kaca depan dan mendapat luka serius, sementara penumpang lainnya bisa diselamatkan polisi dan keluar dari bagian belakang dengan hanya mengalami luka ringan. Mereka kemudian dikirim menggunakan sebuah ambulans ke rumah sakit CBZ (sekarang RSCM) sedangkan Schotel diberitahu mengenai kejadian itu melalui telpon.
Schotel sangat terpukul dengan kejadian tersebut, meskipun beberapa hari kemudian putrinya tersebut pulih dan kembali ke Sukabumi. Semenjak itu Schotel mulai sakit-sakitan dan hanya terbaring di tempat tidur untuk waktu cukup lama. Hal ini menyebabkannya harus absen sebagai notaris dan mengajukan cuti pada 29 November 1929.
Sesudah cutinya berakhir pada 1 November 1930, Schotel masih belum mampu untuk bekerja, sehingga akhirnya diberhentikan sebagai notaris dan posisinya digantikan oleh A.W.F Bakker. Situasi ini menjadi beban berat bagi Schotel dan keluarga, dalam keadaan sakit dan terpuruk.
Bangunan sejarah Gedung Wisma Wisnu Wardhani, Jalan Bhayangkara, Kecamatan Cikole, Kota Sukabumi. (Foto: Dok.sukabumiupdate.com).
Akhirnya ia segera mencari rumah sewa baru karena ahli waris Beijen memutuskan untuk menjual rumah yang ia tinggali itu. Tengat waktu yang diberikan hingga 1 Agustus 1931, sesuai pengumuman di koran.
Setahun kemudian, tepatnya 12 Juli 1932, sesudah menderita akibat sakit yang dideritanya, Schotel meninggal dalam usia 56 tahun. Pemakamannya dihadiri Asisten Residen Sukabumi dan Wali Kota Sukabumi, kemudian dari I.EV. diwakili Camoenie, dan I.K.P. diwakili Durr. Selain itu, notaris penggantinya, Bakker, juga hadir.
“Setelah era eropa, bangunan ini masih banyak menyisahkan kisah, termasuk melahirkan perenang gemilang,” sambung Firman.
Tatkal masa berganti, saat Jepang menyerang, mereka menyesuaikan fungsinya menjadi tempat bagi para pejabat menengah Jepang menginap saat berkunjung ke Sukabumi. Namun, pasca-merdeka, rumah ini dijadikan tempat para dosen sekolah polisi yang tinggal bersama keluarganya.
BACA JUGA: Gamelan Sari Oneng Parakansalak dari Sumedang?
Tahun 1949 rumah ini kemudian diisi guru sekolah polisi dari negeri Belanda bernama Terpstra. Dia datang bersama istri dan tiga anaknya, Joke (11), Erica Georgina Terpstra yang masih berusia 6 tahun, dan Onno yang berumur 15 bulan lebih muda dar Erica.
Terpstra dan keluarga tinggal dengan nyaman karena disediakan beberapa pembantu. Erica yang bertubuh mungil bersekolah di sekolah dasar di Sukabumi, tubuhnya Erica yang kecil mengundang perhatian dokter, yang kemudian merekomendasikan untuk berenang agar cepat tumbuh, meskipun dokter menilai Erica terlalu muda untuk melakukannya.
Erica pun mulai berenang di Prana yang letaknya tidak begitu jauh dari kediamannya. Ia memulai pelajaran renang pertamanya di kolam renang tersebut, pelajaran yang di kemudian hari merubah jalan hidupnya. Erica sangat menyukai olahraga ini, sehingga hampir setiap hari ia meminta diantar ke Prana untuk menyalurkan hobinya.
Erica melalui hari-harinya dengan bahagia dan nampak selalu ceria tinggal di rumahnya yang berada di lingkungan asri nan indah di Sukabumi. Terlebih, masyarakat sekitar sangat ramah dan selalu hangat menyambut kehadirannya. Erica bahkan tak canggung berteman dengan penduduk Sukabumi yang beretnis Sunda.
BACA JUGA: Kuliner Khas Kota Sukabumi yang Hilang
Namun, situasi politik di Indonesia berubah setelah Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah Indonesia. Saat itu, terjadi persoalan politik pelik mengenai isi kesepakatan yang konon dilanggar oleh pihak Belanda terkait persoalan Irian Barat.
Pemerintah Indonesia mulai bersikap kurang ramah kepada orang-orang Belanda, pun sebagian masyarakat menunjukan kebenciannya dengan berbagai cara. Tak terkecuali kepada Erica, seringkali ia dilempari kelelawar mati atau tikus busuk saat melewati sekelompok penduduk setempat.
Muncul pula ancaman-ancaman kurang mengenakan terhadap orang tuanya, hal ini membuat Terpstra sekeluarga merasa tidak nyaman dan memutuskan untuk kembali ke negeri Belanda. Bagi Erica, hal ini sangat berat karena ia ingin menjadi perenang di negeri ini, namun realitas politik yang harus dihadapi, membuat mimpinya harus terkubur di rumah itu.
Jauh di negeri sebrang sana, Belanda, Erica melanjutkan hobi renangnya dan mengikuti jenjang profesional. Ia menekuni gaya bebas 100 meter selama beberapa tahun hingga berpartisipasi dua kali di Olimpiade, yaitu di Roma (1960) dan di Tokyo (1964). Pada penampilan terakhirnya di Olimpiade, Erica berhasil memenangkan medali perak untuk medley 4 x 100 meter dan meraih medali perunggu di nomor tersebut.
BACA JUGA: Ekspedisi Bawah Tanah Kota Sukabumi, Begini Potret Terowongan Tua Warisan Belanda
Erica juga pernah menjadi juara Eropa pada 1962, dan beberapa kali meraih juara nasional. Sebuah prestasi luar biasa, prestasi yang dimulai dari Wisma wisnuwardhani dan Kolam Renang Prana, Sukabumi.
“Wisma Wisnuwardani, hingga kini masih menyimpan kenangan yang menembus kesadaran kita, seolah terjaga dari mimpi panjang bahwa bangunan ini begitu berarti. Puluhan tahun wisma ini menaungi para penghuninya yang datang silih berganti mengisi lembaran-lembaran kisah keberadaannya sejak fajar memendar cahaya, hingga malam datang menjemput gelap.”
“Wisma Wisnuwardani selalu setia mengikuti berputarnya waktu dan merekam langkah-langkah manusia-manusia yang melintasinya setiap hari. Bangunan tua bersejarah yang seolah selalu melambaikan tangannya, meminta siapapun yang berada di dekatnya untuk sekadar mampir, menyapa, dan merawat raganya yang kian uzur.”
“Hingga nanti, bahkan hingga jutaan tahun lagi, semoga Wisma Wisnuwardani ingin tetap kokoh berdiri. Bukan inginkan masa mudanya kembali, hanya ingin dikenang dan diziarahi sebagai bangunan yang penuh arti. Wisma Wisnuwardani selalu sabar menanti, memaku zaman meniti masa yang dinanti, menunggu anak cucumu datang bertamu, kemudian bersama-sama memeluknya agar tetap lestari.” Pungkas Firman mengakhiri tulisan ini.