SUKABUMIUPDATE.com - Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) drh Slamet kembali menyoroti muatan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Kali ini, legislator asal Sukabumi itu mengingatkan pemerintah terkait sektor perizinan dalam RUU Cipta Kerja yang justru berpotensi menjadi permasalahan baru. Padahal, tujuan disusunnya RUU Cipta Kerja adalah untuk mempermudah paket perizinan yang sebelumnya telah ada.
BACA JUGA: Drh Slamet Sebut RUU Cipta Kerja Berpotensi Lemahkan Pertanian Dalam Negeri
"Permasalahan perizinan kan dianggap merupakan salah satu momok paling menakutkan bagi kalangan investor untuk berinvestasi di Indonesia. Hal itu paling tidak terlihat dari peringkat Ease of Doing Business (EoDB) yang masih di bawah negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam," kata Slamet kepada media, Rabu (12/8/2020).
Betapa tidak, sambung Slamet, pemerintah menyebut, untuk membuat semacam resort di Indonesia, diperlukan sekitar 22 jenis dokumen perizinan untuk dapat memulai usaha tersebut. Kondisi ini tentu saja tidak menarik bagi investor.
BACA JUGA: drh Slamet: Bantuan Alsintan untuk Petani di Sukabumi Bentuk Antisipasi Kelangkaan Pangan
Slamet menuturkan, secara umum pemeringkatan EoDB tersebut memberikan gambaran betapa sulitnya melakukan kegiatan usaha di Indonesia, sehingga pada tahun 2018 beberapa investor kelas kakap dari Tiongkok yang merelokasi pabriknya, tidak ada satupun yang dipindahkan ke Indonesia.
"Hal inilah yang menjadi latar belakang dirumuskannya RUU Cipta Kerja oleh pemerintah, di mana 70 persen dari pasal-pasalnya berkaitan dengan kemudahan perizinan berusaha. Apabila itu disahkan, maka diharapkan dapat meningkatkan jumlah investasi yang masuk ke Indonesia yang pada akhirnya akan memberikan banyak kesempatan kerja bagi masyarakat," jelas Slamet.
BACA JUGA: Reses di Kebonpedes Sukabumi, drh Slamet: Program Ibu Berdaya Berantas Rentenir
Tetapi Slamet mengingatkan, persoalan perizinan berusaha yang selama ini terjadi di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh para pemegang kebijakan yang kurang profesional dalam menjalankan tugasnya. Sehingga, banyak didapati praktik-praktik pungli bagi setiap jenis perizinan yang akan dikeluarkan.
"Selain itu, sistem perizinan yang masih banyak dilakukan secara manu juga mengakibatkan proses izin usaha membutuhkan waktu yang cukup lama," ucap Slamet.
BACA JUGA: Anggota DPR RI drh Slamet Minta Kementan RI Perhatikan Kesejahteraan PPL
"Saya melihat persoalan perizinan berusaha ini lebih kepada pelaksanaanya, bukan di peraturannya. Sehingga bagi saya, rumusan kemudahan perizinan dalam RUU Cipta Kerja menjadi tidak relevan. Sebaiknya pemerintah fokus memperkuat perizinan berbasis Online System Submission (OSS) ataupun Perizinan Satu Pintu (PTSP)," tegas Slamet.
Slamet membeberkan, beberapa hal yang terkait dengan perizinan berusaha berbasis risiko dalam rumusan RUU Cipta Kerja, dianggap masih belum memberikan gambaran solusi bagi persoalan perizinan usaha di Indonesia.
BACA JUGA: Anggota DPR RI drh Slamet Kritisi Sulitnya Penegakan Hukum Karhutla di Indonesia
Sebab, bila melihat Pasal 8 hingga 13 dalam draft RUU Cipta Kerja yang memuat terkait perizinan usaha berbasis risiko, maka ditemukan bahwa apa yang dirumuskan oleh pemerintah berpotensi tidak akan memberikan solusi konkret atas permasalahan yang sedang dihadapi Indonesia dalam sektor perizinan.
"Justru diduga akan semakin memperburuk keadaan. Misalnya salah satu syarat kegiatan yang masuk dalam kategori berisiko rendah, berisiko sedang, dan berisiko tinggi, itu didasarkan pada potensi terjadinya bahaya. Artinya, kalau berdasarkan potensi terjadinya bahaya, kita memerlukan base line data series dan juga forcasting data series untuk menentukan kategori usaha. Sehingga keakuratan dan ketersediaan data menjadi hal yang krusial. Saya ingatkan kepeda pemerintah untuk berhati-hati terkait persolan data ini, jangan sampai terjadi kesalahan analisa sehingga dapat merugikan kepentingan nasional," tutup Slamet.