SUKABUMIUPDATE.com - Dulu, material kayu untuk membangun atap rumah paling banyak digunakan. Namun, setelah ada rangka atap baja ringan, material atap rumah mulai banyak beralih menggunakan baja ringan. Nah, bagi anda yang masih bingung menentukan rangka atap memakai baja ringan atau kayu untuk pembangunan rumahnya, simak pejelasan dari Dosen Teknik Sipil, Universitas Nusa Putra (NPU) Sukabumi, Paikun.
Menurut Paikun, sedikitnya ada empat aspek perbandingan rangka atap baja ringan dengan kayu yang dapat dijadikan pertimbangan. Pertama, aspek harga beli termasuk ongkos pasangnya. Jika dibandingkan berdasarkan kelas penggunaannya, kata dia, antara rangka atap kayu kelas satu dan baja ringan kelas satu, harganya lebih mahal rangka atap kayu. “Kayu lebih mahal harga pembelian dan upah pemasangannya,” ujar Paikun.
Dari perbandingan yang ia lakukan, antara penggunaan rangka atap baja ringan kelas satu dengan kayu kelas dua saja. Hasilnya, kata dia, pekerjaan rangka atap baja ringan dengan spesifikasi kanal C 7,5 cm tebal 0,75 mm biayanya hanya Rp.160.000 per meter persegi, sedangkan dengan kayu kelas dua mencapai Rp.206.000 per meter persegi. “Kedua analisa tersebut pekerjaannya sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI), tetapi belum termasuk pekerjaan penutup atap atau gentingnya,” terangnya.
BACA JUGA: Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Nusa Putra Sukabumi Bantu Renovasi MCK Warga
Aspek kedua, kata Paikun, aspek kualitas material yang berkaitan dengan umur pakai. Untuk material kayu, menurutnya, perlakukan yang sama berdasarkan kelasnya akan menghasilkan umur pakai yang berbeda. Kayu kelas dua dan kelas satu, lanjut dia, jika dilindungi dari masuknya air keawetannya bisa mencapai 15-20 tahun, sedangkan kayu kelas tiga bisa awet sampai 10 tahun.
“Apalagi jika kayu tidak berhubungan dengan tanah lembab dan dilindungi terhadap kelemasan, keawetan kayu kelas satu dan dua bisa tak terbatas. Dan kayu kelas satu itu tidak akan terserang rayap, untuk kelas dua jarang terserang rayap, sedangkan kayu kelas tiga relatif cepat terserang rayap,” kata Paikun.
Sedangkan untuk kualitas umur pakai rangka atap baja ringan, dapat diketahui dari spesifikasinya. Menurutnya, kelemahan utama baja ringan adalah karat, karena itu memerlukan spesifikasi tertentu agar tahan lama. Dia menyarankan memilih material baja ringan yang bergaransi karat minimal 25 tahun, sehingga tingkat keawetannya bisa mencapai 50 tahun.
Paikun mengaku belum mengetahui berapa usia baja ringan sampai berkarat yang tidak tersertipikasi. Untuk yang tidak tersertipikasi biasanya, kata dia tergantung spesifikasi bahan baja ringannya. “Ada yang menggunakan bahan Galfalum ada juga yang menggunakan Galfanis, spesifikasi yang menggunakan Galfalum akan lebih tahan lama dari karat,” jelasnya.
Jadi dari aspek perbandingan kualitas dan umur pakai, kesimpulan Paikun, untuk kayu tergantung kelas kayu dan perlakuannya. Dan untuk baja ringan sangat tergantung kepada tersertipikasi atau tidak spesifikasi baja ringannya. Namun, menurut pengalamannya, faktanya sering ditemukan rangka atap kayu yang sebagian masih bagus dan sebagian sudah rapuh, hal itu menurutnya terjadi karena menggunakan kayu secara acak, atau kualitasnya tidak sama.
“Karena memang kondisi saat ini untuk mendapatkan kayu sesuai kualitas yang diinginkan mulai kesulitan. Untuk penggunaan kualitas kayu yang acak, maka sebaiknya 5 tahun sudah harus di cek,” saran Paikun.
BACA JUGA: 54 Mahasiswa jadi Anggota Baru UKM Universitas Nusa Putra Sukabumi
“Sedangkan, jika menggunakan spesifikasi baja ringan yang tidak tersertifikasi, maka setelah usia 10 tahun harus di cek, sudah berkarat atau belum, jika sudah berkarat, maka sebaiknya segera diganti,” imbuhnya.
Aspek ketiga, aspek pemeliharaannya. Aspek ini, menurutnya sangat erat kaitannya dengan penggunaan spesifikasi penutup atap atau genting. Pada umumnya, kata Paikun, penggunaan rangka atap baja ringan sering paket dengan genteng metal, sedangkan rangka atap kayu masih jarang yang menggunakan genteng metal.
Apabila keduanya sama-sama menggunakan genteng metal, menurutnya rangka atap baja ringan nyaris tidak perlu perawatan, sedangkan pada rangka kayu sering lebih cepat keropos pada material rengnya. Tapi, masih menurutnya, apabila sama-sama menggunakan genting selain genteng metal, jika kualitas gentengnya tidak bagus, kemungkinan masih terjadi rembes air, selain rembes juga bisa merosot atau bocor.
“Kemungkinan ada rembesan air hujan yang cukup membasahi kayu atau baja ringan, tetapi baja ringan lebih tahan lama, tetapi kayu jika kena rembesan air akan mempercepat keropos, umumnya pada bagian reng atau kaso. Jadi, perawatan rangka kayu yang mungkin cepat di perbaiki adalah reng dan usuk atau kaso,” ujarnya.
BACA JUGA: Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Nusa Putra Sukabumi Merambah ke Rutilahu
Sedangkan kekurangan rangka atap baja ringan, kata Paikun, apabila satu berkarat kemungkinan besar seluruhnya berkarat, sehingga itu bukan lagi perawatan, tetapi ganti total. “Jadi kesimpulan dari aspek perawatan, penggunaan rangka atap baja ringan nyaris tidak ada perawatan, tapi kalau sudah berkarat harus diganti semua. Sedangkan menggunakan rangka kayu harus ada perawatan,” ucapnya.
Aspek terakhir, kata Paikun, aspek dampak lingkungan hidup. Pertama, kata dia, dapat dilihat dari aspek kesehatan. Rangka atap menggunakan kayu, menurutnya tidak berdampak untuk kesehatan. Sedangkan untuk rangka atap baja ringan, dapat dilihat dari bahan dasar dan standar atau persyaratan kandungannya berdasarkan SNI.
Carbon Steel adalah bahan dasar pembuatan baja ringan. Carbon Steel, menurutnya adalah baja yang terdiri dari elemen-elemen yang persentase maksimum selain bajanya sendiri itu terdiri dari unsur, carbon (1,70 persen), manganese (1,65 persen), silicon (0,60 persen) dan coppe (0,60 persen). “Dengan adanya persyaratan yang ditentukan oleh SNI, jika kita memilih baja yang sesuai SNI, maka baja ringan tidak akan berdampak buruk terhadap kesehatan,” ujarnya.
BACA JUGA: Berbagi Ilmu, HMSI Universitas Nusa Putra Sukabumi Goes to School
Lebih lanjut menurutnya, yang harus dipertimbangkan, penggunaan kayu saat ini sudah tidak seimbang dengan produksi kayu, hal itu jelas akan berdampak buruk bagi lingkungan hidup. “Untuk material baja ringan juga menggunakan bahan baku hasil alam dari dari tambang, sehingga berbahaya atau tidak terhadap lingkungan perlu kajian yang sangat mendalam, tetapi selama bahan bakunya melimpah maka tidak berbahaya untuk lingkungan,” jelasnya.
Yang kedua, menurut Paikun dari aspek limbah. Limbah rangka atap dari kayu mungkin hanya menjadi kayu bakar, sedangkan limbah baja ringan bisa di daur ulang. Karena itu menurutnya, jika dilihat dari aspek lingkungan dari aspek limbah, kondisi saat ini masih lebih baik menggunakan baja ringan.
“Bagi yang memiliki cukup biaya atau mereka yang tinggal dipedesaan dan mempunyai pohon kayu, tentu masih memilih menggunakan kayu. Tetapi, kalau tidak memiliki kebun kayu atau biayanya tidak cukup untuk membeli material kayu, rangka atap baja ringan bisa jadi solusinya,” pungkasnya.