SUKABUMIUPDATE.com - Ratusan nelayan Ujunggenteng dan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, membentangkan spanduk penolakan kebijakan larangan ekspor benur atau benih lobster serta jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak atau PNBP. Mereka menilai, kedua aturan itu sangat merugikan dan menyulitkan nelayan.
Para nelayan menyampaikan orasinya pada Ahad, 24 Oktober 2021, menolak Peraturan Menteri KP Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) serta Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
"Kami atas nama nelayan berinisiatif mengadakan orasi sebagai respons terhadap kebijakan pemerintah," kata Dudung (50 tahun), nelayan Ujunggenteng.
Nelayan menolak Permen KP Nomor 17 Tahun 2021 yang dianggap menyebabkan penghasilan mereka menurun karena tidak lagi diizinkan menangkap benur untuk diekspor. Sementara di sisi lain, Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 menyulitkan nelayan karena akan memaksimalisasi potensi PNBP di bidang perikanan tangkap lewat pengutan yang harus nelayan keluarkan dengan nilai yang meningkat.
"Kami ingin ekspor benur diberlakukan kembali karena saat ini hanya berlaku benur untuk budi daya (dalam negeri). Kalau budi daya memerlukan sarana dan prasarana memadai, termasuk biaya pakan," jelas Dudung. "Kami hanya nelayan yang menangkap ikan atau benur untuk kebutuhan sehari-hari karena ditunggu sama dapur," imbuhnya.
Terkait Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang meningkat, Dudung menyebut akan mempengaruhi harga jual bibit yang pada akhirnya mengakibatkan harga ikan sangat murah karena ada kenaikan tarif ke negara. "Mohon untuk pemerintah serta wakil rakyat (DPRD dan DPR RI), agar memberi solusi bagi nelayan kecil," ucap dia.
Tentang Permen KP Nomor 17 Tahun 2021
Ada perbedaan regulasi benih lobster mulai era Susi Pudjiastuti, Edhy Prabowo, hingga Sakti Wahyu Trenggono. Pada zaman Susi Pudjiastuti, aktivitas tersebut dilarang untuk apa pun. Namun ketika Edy Prabowo menggantikan kursi Susi Pudjiastuti, aturan sebelumnya diganti menjadi Permen KP Nomor 12 2020. Dalam aturan ini, benih lobster bukan hanya boleh ditangkap, tetapi juga bisa diekspor.
Tetapi, Edy tersandung kasus korupsi dan digantikan Sakti Wahyu Trenggono. Wahyu mengganti regulasi tersebut menjadi Permen KP Nomor 17 Tahun 2021. Di dalam regulasi ini benih lobster boleh ditangkap, namun kembali kembali melarang untuk diekspor. Meski begitu, benih lobster atau BBL masih boleh ditangkap untuk kepentingan riset dan budi daya dalam negeri.
Kuota penangkapan BBL ditetapkan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan. Kemudian, alat penangkap yang boleh digunakan bersifat pasif, tidak boleh aktif. Yang boleh menangkap pun hanya nelayan kecil yang terdaftar dan berizin di dinas kelautan dan perikanan dengan kapal tidak di atas 5 GT.
Tentang Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021
Aturan ini sebelumnya dikritik Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera atau F-PKS, Drh Slamet. Ia tegas menolak Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 dan meminta Presiden Joko Widodo membatalkannya. Tujuan dikeluarkannya PP ini adalah untuk memaksimalisasi potensi PNBP di bidang perikanan tangkap yang selama ini kontribusinya dianggap masih sangat kecil.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dibagikan Slamet, nilai produksi perikanan tangkap tahun 2020 berkisar Rp 224 triliun. Sedangkan, empat tahun sebelumnya masing-masing Rp 219 triliun (2019), Rp 210 triliun (2018), Rp 197 triliun (2017), dan Rp 122 triliun (2016). Realisasi PNBP pada tahun-tahun tersebut tidak mencapai 1 persen dari nilai produksi perikanan per tahunnya.
Secara berturut-turut, Slamet yang juga Ketua Umum Perhimpunan Petani Dan Nelayan Seluruh Indonesia atau PPNSI mengatakan, PNBP perikanan tahun 2020 sebesar Rp 600,4 miliar yang merupakan realisasi PNBP tertinggi sejak 2016. Dengan rincian, Rp 521 miliar (2019), Rp 448 miliar (2018), Rp 491 miliar (2017), dan Rp 357 miliar (2016).
Kebijakan PNBP ini mendapat respons beragam dari masyarakat khususnya nelayan. Para nelayan beranggapan kebijakan itu akan mengerek pungutan yang harus mereka keluarkan. Tidak tanggung-tanggung, nilai kenaikannya hingga berkali lipat.
Slamet yang juga legislator asal Sukbumi ini mengatakan, KKP perlu lebih berhati-hati menerapkan pungutan PNBP. Pasalnya, kenaikan target PNBP dipastikan akan menekan pendapatan nelayan kecil.