SUKABUMIUPDATE.com - Rezim militer Myanmar memblokir penggunaan Internet serta membatasi pengiriman berbagai data digital bagi warganya. Bahkan, di jalan-jalan Myanmar seperti Yangon dan kota-kota lainnya, para tentara memburu setiap wartawan atau warga yang sengaja memvideokan kebrutalan militer.
Namun, berbagai gambar dan video tetap saja berhasil tersebar dan terkirim hingga ke luar negeri, sehingga seluruh orang di dunia dapat menjadi saksi kebrutalan militer Myanmar yang sedang terjadi saat ini.
Akses ke Dark Web
Dikutip dari Asia News Press, penduduk di hampir semua kota di Myanmar rupanya menemukan cara mengatasi hambatan komunikasi online tersebut. Ternyata mereka mengunduh sebuah perangkat lunak yang bisa digunakan sebagai perpindahan data digital yang dapat menembus dan merambat melalui pembatan sensor lalu dialihkan ke sumber media alternatif yang menggunakan teknologi jaringan bawah tanah.
Baca Juga :
Recorded Future Inc, sebuah perusahaan keamanan siber di Boston, Amerika Serikat, memaparkan cara para pengunjuk rasa Myanmar untuk dapat tetap bisa mengakses internet menggunakan jalur hidden web atau dark web.
Ada warga Myanmar yang menggunakan sebuah aplikasi perpesanan khusus dengan mengandalkan teknologi Bluetooth agar tetap bisa berkirim pesan antar keluarga atau rekan-rekan mereka. Bahkan, ada juga yang beralih menggunakan platform media sosial kurang dikenal untuk tetap terhubung.
Mendapatkan Support dari Aktivis Global
Selain itu, warga Myanmar telah mendapatkan berbagai masukan dan saran dari para pengunjuk rasa di Hong Kong dan Belarusia, serta aktivis di negara lain, sehingga mereka bisa berbagi cara-cara kreatif untuk menyiasati pembatasan Internet yang dilakukan militer Myanmar.
Dari kelompok aktivis Hong Kong misalnya, membimbing rekan mereka di Myanmar lewat forum online khusus yang membagikan tips dan cara agar tetap terhubung satu sama lain.
"Dalam sejarah pergolakan politik hingga kudeta yang terjadi di Myanmar, kali ini merupakan yang pertama terjadi ketika orang-orang memiliki akses ke berbagai platform alternatif hingga melakukan koordinasi dengan sejumlah organisasi internasional sehingga mereka mendapatkan bantuan," ungkap Wright, analis intelijen siber di Recorded Future.
Wright kebetulan sedang mempelajari dampak penindasan internet yang terjadi di Myanmar selama satu setengah bulan terakhir ini. Ia mengamati, karena pemerintah Myanmar memblokir semua akses komunikasi, banyak warga Myanmar akhirnya mencoba berbagai metode baru untuk tetap dapat berkomunikasi satu sama lain.
Namun, menurut Annisa Wozencraft, seorang analis Recorded Future lainnya mengatakan, apa yang sekarang dilakukan oleh warga Myanmar tersebut mungkin tidak dapat digunakan lagi dalam beberapa pekan mendatang.
"Cara ini hanya untuk jangka pendek, militer Myanmar akan berusaha keras mencari cara untuk membatasi komunikasi rakyatnya dengan dunia luar," ucap Annisa.
Disamping itu, Brigadir Jenderal Zaw Min Tun, juru bicara junta militer Myanmar, mengatakan, pihaknya belum berencana memulihkan aliran data internet di negara tersebut.
"Orang yang menggunakan Internet akan memicu tindakan merusak," ujar Min Tun.
Langkah warga Myanmar yang menggunakan platform alternatif sebagai media berkomunikasi sebenarnya telah dilakukan sejak hari pertama kudeta militer pada 1 Februari 2021 lalu. Saat itu, beberapa aktivis mulai mencurigai pihak militer akan membatasi segala jaringan komunikasi ketika penangkapan Aung San Suu Kyi dan sejumlah politisi sipil terjadi. Bahkan, dalam 48 jam pertama sejak kudeta, 1,4 juta penduduk di seluruh Myanmar mengunduh aplikasi perpesanan bernama Bridgefy.
Jorge Rios, kepala eksekutif Bridgefy, menuturkan, aplikasinya memungkinkan orang mengirim pesan secara offline dalam jarak tertentu hanya dengan menggunakan fitur Bluetooth yang ada di ponsel pengguna. Ternyata, pengunjuk rasa di Hong Kong dan Turki telah menggunakan cara ini sebelumnya.
Pada 13 Februari 2021, hampir dua pekan setelah kudeta, penggunaan internet di Myanmar turun hingga 15 persen dari lalu-lintas normalnya.
Sebelumnya, pemimpin kudeta juga melarang penggunaan platform Facebook pada 4 Februari 2021. Akibatnya, terjadi peningkatan drastis penggunaan jaringan pribadi virtual atau VPN. Sejak itu, hanya mereka yang memiliki VPN yang dapat mengenkripsi lalu lintas internet hingga berhasil menyamarkan identitas mereka di internet.
Generasi Muda Myanmar Semakin Kreatif Melawan Militer
Seorang mahasiswa asal Myanmar yang identitasnya dirahasiakan mengungkapkan, ada juga warga yang beralih ke browser Tor (sebuah aplikasi browser khusus untuk mengakses dark web, red). Mereka menjelajahi berbagai forum di dark web untuk mendapatkan informasi tentang cara menghindari deteksi dari pihak militer.
Namun, ketika terdengar kabar bahwa militer sedang mencari siapa saja yang memasang Tor di perangkat mereka, penggunaan browser itu pun menurun. Mahasiswa tersebut mengaku tidak pernah menggunakan VPN atau Tor sebelumnya.
"Tetapi sejak kudeta kami menggunakannya. Saya pikir sebagian generasi muda seperti kita dan sejumlah orang Myanmar yang bersekolah ke luar negeri sudah mengenal teknologi semacam itu," ungkap mahasiswa tersebut.
Berbagai orang yang tergabung dalam gerakan protes di Thailand, Malaysia, Taiwan dan Hong Kong bersatu di bawah payung Aliansi Teh Susu, mendukung aktivis demokrasi di Myanmar.
Mereka berbagi dokumen dan tips serta mengatur obrolan di internet agar tetap aman dan tidak terdeteksi oleh militer. Bahkan, beberapa organisasi peretas di seluruh dunia memberikan rekomendasi kepada para aktivis Myanmar untuk menggunakan aplikasi yang bisa melewati batasan sensor seperti aplikasi Signal, Briar, Tails dan Brave Browser.
Baca Juga :
Di sejumlah forum internet terkenal seperti Reddit, telah muncul pembicaraan dan gerakan pro-demokrasi Myanmar. Lewat forum ini, aktivis di seluruh dunia berbagi cara tentang menghadapi militer atau aparat seperti bagaimana cara menangani gas air mata, strategi komunikasi, promosi, pertolongan pertama dan lainnya.
Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM) Myanmar hingga saat ini tampaknya tidak akan meredup dalam waktu dekat. Di jalan-jalan, mereka seolah melakukan aksi tanpa adanya pemimpin, tetapi mereka sebenarnya terkonsolidasi dan sepakat satu suara untuk menjangkau semua orang.