SUKABUMIUPDATE.com - Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), drh Slamet menyatakan, RUU Omnibus Law dianggap tidak berpihak kepada para petani dalam negeri. Slamet menyebut, diduga ada motif pemerintah yang cenderung pro terhadap aktivitas impor dengan mengubah beberapa pasal yang berkaitan dengan impor tersebut.
Slamet menuturkan, di UU nomor 19 tahun 2013 pasal 15 (1) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dikatakan, pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, diubah oleh RUU Omnibus Law Ciptaker, menjadi: Pasal 33 angka 1 (1), di mana pemerintah pusat melakukan upaya peningkatan produksi pertanian dalam negeri.
BACA JUGA: DPR RI Tolak Impor Gula, drh Slamet: Tingkatkan Pembelian Produksi Petani
"Mengapa kalimat berkewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional dihilangkan? Seolah Kementerian Pertanian hanya untuk hiasan saja tapi tidak serius difungsikan sesuai tujuannya," ucap Slamet kepada sukabumiupdate.com, Minggu (8/3/2020).
Tak hanya itu, lanjut Slamet, UU nomor 19 tahun 2013 pasal 15 (2) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani juga dikatakan, kewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri sebagaimana dimaksud ayat (1), dilakukan melalui pengaturan impor komoditas pertanian sesuai dengan musim panen dan/atau kebutuhan konsumsi dalam negeri.
BACA JUGA: Menuai Pro Kontra, drh Slamet: DPR Akan Menjaga Amanah Reformasi Pada Omnibus Law
"Hal itu kemudian diubah oleh RUU Omnibus Law Ciptaker, menjadi: Pasal 33 angka 1 (2), peningkatan produksi pertanian dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui strategi perlindungan petani sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 (2), kata pengaturan impornya hilang, jelas terlihat motif memperbesar impor ketimbang ketimbang memprioritaskan produksi pertanian dalam negeri," jelas Slamet.
Slamet mengatakan, UU nomor 19 tahun 2013 pasal 30 (1) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani berbunyi, setiap orang dilarang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan komoditas pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah.
BACA JUGA: Pro Kontra Omnibus Law, drh Slamet: UU Eliminator
"Aturan tersebut diubah oleh RUU Omnibus Law Ciptaker, menjadi: pasal 33 angka 2 (1), kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan melalui impor, jelas sekali lagi perubahan ini menunjukan pemerintah berniat tetap akan melakukan impor meskipun sebenarnya stok produksi dalam negeri cukup" tambahnya.
Tak berhenti di sana, di UU nomor 19 tahun 2013 pasal 30 (2) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani disebutkan, kecukupan kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh menteri, sambung Slamet, hal itu diubah oleh RUU Omnibus Law Ciptaker, menjadi: pasal 33 angka 2 (2), di mana kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh pemerintah pusat. "ini menunjukkan pemerintah pusat ingin mengambil otoritas yang sebenarnya secara Undang-undang sudah diatur. Apakah pemerintah lebih tinggi kedudukannya dari Undang-Undang?" demikian Slamet mempertanyakan motif perubahan ini.
BACA JUGA: drh Slamet Minta Pemerintah Perhatikan Kondisi Ekonomi Petani, Peternak dan Nelayan
"UU nomor 19 tahun 2013 pasal 101 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Pasal 101 menyatakan, setiap orang yang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan komoditas pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Tetapi, diubah oleh RUU Omnibus Law Ciptaker, menjadi dihilangkan sama sekali. Ini sudah cukup jelas bahwa pemerintah memang aktor dibalik banyaknya keputusan impor" tegas Slamet.
Dengan demikian, ucap Slamet, sudah terlihat apa motif pemerintah. Amat disayangkan, sikap pemerintah yang mengubah aturan mengenai impor tersebut, memperlihatkan secara nyata bahwa pemerintah bukannya membesarkan petani dan pertanian bangsa sendiri, tetapi membesarkan pengusaha impor dan petani serta pertanian bangsa dan negara lain.
"Ini merupakan sebuah tindakan pengkhiatan kepada petani dan pertanian di seluruh Indonesia," tandas Slamet.