SUKABUMIUPDATE.com - Mohamad Rehan, anak berusia 10 tahun mengidap kelainan pada otaknya. Rehan adalah putra kedua pasangan Ade (42 tahun) dan Nurhayati (35 tahun), warga Kampung Cihaur RT 06/02 Desa Curug Luhur, Kecamatan Sagaranten, Kabupaten Sukabumi.
BACA JUGA: Abah Ujar, Penjual Kacang Tanah Asal Waluran Sukabumi yang Penuh Semangat
Dari penampilan fisik, Rehan nampak seperti anak-anak seusianya. Namun beberapa tetangga, teman, sampai gurunya mengaku kesulitan menghadapi Rehan. Sang ayah, Ade mengulas, dahulu Rehan terlahir normal. Namun menginjak usia 5 tahun, anaknya itu sempat mengalami demam tinggi, sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Akibat terlambat penanganan, Rehan saat itu mendapat diagnosa dokter mengidap kelainan pada otaknya.
"Saat itu karena kami tidak ada biaya, jadi kami hanya mengandalkan obat seadanya. Sebelum akhirnya kami memiliki kartu BPJS berbayar yang kami pakai untuk berobat dan memeriksa anak kami di sukabumi," ungkap Ade kepada sukabumiupdate.com, Senin (15/4/2019).
BACA JUGA: Supardi, Pemuda Obesitas Berhati Emas Asal Sagaranten Sukabumi
Ade yang hanya kuli serabutan kerap kesulitan biaya saat ingin mengobati anaknya. Penghasilannya tak menentu. Kadang ada, kadang tidak. Kondisi tersebut membuatnya kesulitan membayar angsuran BPJS yang mesti dibayar setiap bulan. Akibatnya, kondisi Rehan semakin hari semakin memburuk. Ade dan istrinya semakin kesulitan mengontrol aktivitas anaknya yang sering membahayakan keselamatannya dan orang disekitarnya.
"Anak saya ini sering melakukan hal diluar kontrol. Dia sering merusak kaca rumah, kaca sekolah, bahkan sempat memukul temannya dengan batu sampai dijahit. Dan akibatnya sudah dua bulan ini kena skorsing pihak sekolah. Terus juga pernah dia dipatok ular, setelah sebelumnya ia menangkap ular dan menakut nakuti temannya. Akhirnya tangannya bengkak dan membiru," jelas Ade.
BACA JUGA: Ajang, Difabel Cilik Pengrajin Anyaman Bambu Asal Waluran Sukabumi Ingin Bisa Baca Tulis
Meskipun semakin hari ia semakin kesulitan mengontrol anaknya ditengah usahanya memenuhi kebutuhan mereka, namun Ade dan Nurhayati mengaku pasrah dengan kondisi ini. Terlebih ia baru saja menyelesaikan operasi anak kembar mereka yang masih berusia balita dengan biaya yang mereka keluarkan sendiri.
"Sampai saat ini kami belum mendapatkan Jamkesda layaknya masyarakat miskin lainnya, padahal beberapa kali kami berurusan dengan kesehatan anak-anak kami. Padahal kami ini benar-benar miskin," pungkasnya.