SUKABUMIUPDATE.com - Surat protes yang diajukan Dewan Pers terkait pasal bermasalah yang ada di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) akhirnya mendapatkan balasan dari Kementerian Hukum dan HAM.
Kepala Bagian Humas Kemenkumham Tubagus Erif Faturahman menyatakan pihaknya telah menjadwalkan audiensi antara Dewan Pers dengan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej.
"Ini nanti Dewan Pers mau ketemu Wamen, audiensi terkait RKUHP, lagi dicari waktunya," kata Kepala Bagian Humas Kemenkumham Tubagus Erif Faturahman saat dihubungi oleh Tempo.co, Minggu, 17 Juli 2022.
Baca Juga :
Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra menyatakan bahwa mereka mengirimkan surat protes ke Kemenkumham dan DPR.
Selain soal sejumlah pasal bermasalah, surat tersebut juga berisi permintaan agar Dewan Pers dilibatkan dalam pembahasan RKUHP.
Azyumardi menyatakan pihaknya sama sekali belum terpikir untuk mengajukan keberatan sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Upaya hukum berupa uji materi ke MK adalah saran yang diberikan Edward maupun sejumlah anggota Komisi Hukum DPR merespons masih adanya protes atas RKUHP di masyarakat.
"Belum (ada pembicaraan uji materi), kami belum berpikir ke sana," kata Azyumardi.
Kalau Dewan Pers berpikir ke MK, kata Azyumardi, artinya sama saja dengan mengikuti argumen DPR yang selalu mengatakan, "Jika tak puas nanti silahkan judicial review ke MK."
Jumat kemarin Dewan Pers mengkritisi sejumlah pasal dalam draft RKUHP terbitan 4 Juli 2022. Mereka menilai terdapat sembilan pasal yang mengancam kebebasan pers.
Dewan Pers juga menyatakan bahwa draf terakhir tersebut tidak berubah dari apa yang pernah mereka protes.
“Rancangan KUHP ini mengandung banyak sekali ancaman atau bahaya terhadap kebebasan pers, kebebasan bermedia, kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, dan sebagainya,” kata Azyumardi saat konferensi pers di Kantor Dewan Pers, Jakarta.
Berikut pasal-pasal yang dimaksud bisa mengancam kemerdekaan pers.
- Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara.
- Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Beleid ini, menurut Dewan Pers, perlu dihapus karena jelmaan dari ketentuan tentang penghinaan Presiden dan Wakil Presiden yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
- Pasal 240 dan 241 Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang sah, serta Pasal 246 dan 246 soal penghasutan untuk melawan penguasa umum. Pada pasal-pasal tersebut harus dihapus karena bersifat karet, Dewan Pers merujuk pada kata “penghinaan” dan “hasutan”.
- Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong.
- Pasal 280 Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan.
- Pasal 302-304 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan.
- Pasal 351 dan 352 Tindak Pidana terhadap Penghinaan Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara.
- Pasal 440 Tindak Pidana Penghinaan soal pencemaran nama baik.
- Pasal 437, 443 Tindak Pidana Pencemaran.
Dewan Pers pun berharap agar DPR RI dapat memenuhi asas keterbukaan sebagaimana diatur pada Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Tujuannya agar proses penyusunan RKUHP ini memberikan kesempatan luas bagi seluruh masyarakat untuk memberi beragam saran dan kritik.
Azyumardi mengatakan, Dewan Pers tidak menolak revisi KUHP saat ini untuk menghilangkan aturan kolonial. Namun menurutnya mesti dilakukan keterbukaan seluas-luasnya.
Sementara anggota Dewan Pers yang mewakili unsur wartawan, Yadi Hendriana, menyebut sebenarnya masyarakat pers berharap diajak bicara terlebih dahulu terkait RKUHP ini.
Untuk itu setelah Dewan Pers menggelar konferensi pers, kata Yadi, maka pihaknya menyampaikan surat protes ke berbagai pihak terkait.
"Jika memang pemerintah memaksakan diri untuk disahkan tanpa masukan dari masyarakat sipil, tentu upaya terakhir adalah menggugat ke MK," kata Ketua Komisi Pengaduan dan Pengegakan Etika Pers, Dewan Pers, ini.
Namun demikian, kata Yadi, Dewan Pers tetap mengupayakan ada dialog sebelum RKUHP disahkan menjadi Undang-Undang.
Jangan sampai setelah disahkan, kata dia, baru disadari bahwa pasal-pasal RKUHP banyak yang bertentangan dengan kebebasan berekspresi.
"Dewan pers dan masyarakat pers minta dilibatkan dan dibukakan pintu dialog," kata Yadi.
SOURCE: TEMPO.CO