SUKABUMIUPDATE.com - Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) tidak menyetujui jika kebebasan pers dikorbankan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP yang akan disahkan oleh DPR RI dan Pemerintah.
KKJ menilai jika RKUHP yang sedang di bahas ini akan sangat berdampak pada kalangan pers.
“Kami menghendaki transparansi dalam perumusannya, untuk memastikan bahwa kebebasan pers secara utuh dilindungi dan jurnalis tidak menjadi korban dari pasal-pasal multitafsir di dalam KUHP dengan cara dipidanakan,” tulis KKJ dalam rilis mereka, Rabu, 6 Juli 2022 yang melansir dari tempo.co.
Sebelumnya pemerintah telah menyerahkan draf RKUHP kepada DPR RI melalui rapat kerja bersama Komisi III.
Selanjutnya DPR RI menyepakati pembahasan terhadap draf tersebut dari pemerintah dan akan dilakukan pembahasan tertutup oleh fraksi-fraksi dan komisi.
KKJ menilai pembahasan tersebut menjadi langkah yang buruk. Sebab sejak awal perumusan RKUHP yang dilakukan pemerintah dianggap sangat minim partisipasi publik yang bermakna.
“Padahal RKUHP tersebut akan berdampak penuh kepada masyarakat luas,” tulis KKJ.
Mereka melihat pemerintah hanya menilai ada 14 isu krusial yang mesti dibahas dalam RKUHP. Tetapi masyarakat sipil menilai ada lebih dari 14 isu yang mencakup berbagai persoalan.
Beberapa pasal soal hak kebebasan berpendapat dan berekspresi dinilai tidak dibahas secara khusus.
Pasal yang dimaksud seperti penghinaan presiden dan wakil presiden pada Pasal 218 ayat (1) mengatur setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana penjara paling lama 3,5 tahun atau pidana denda.
Selanjutnya Pasal 219 diatur, setiap orang yang mempublikasikan terkait penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden melalui sarana teknologi informasi sehingga diketahui oleh umum akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4,5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Kemudian Pasal 220 diatur: tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Kemudian pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Selain ketiga Pasal tersebut ada juga yang menjadi perdebatan, seperti penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 351 dan 352).
Kemudian soal izin keramaian yang mencakup unjuk rasa dan demonstrasi (Pasal 256), penyebaran berita bohong (Pasal 263), serta persoalan makar (Pasal 191-196).
“Menanggapi kompleksnya berbagai isu yang diatur di dalam RKUHP, penerapan proses perumusan dan pembahasan yang transparan serta pelibatan masyarakat secara bermakna menjadi sangat krusial,” tulis KKJ.
Maka dari itu, KKJ mendesak pemerintah dan DPR dalam tiga poin: pertama, membuka ruang seluas mungkin kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam memberi masukan dan kritik atas draf resmi RKUHP terbaru.
Kedua, memastikan agar draf RKUHP menjamin kebebasan pers, kebebasan sipil, kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpendapat yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dalam konteks yang lebih luas.
Ketiga, memastikan agar DPR RI tidak tergesa-gesa mengesahkan RKUHP sebelum dua poin tersebut terpenuhi.
Sebagaimana diketahui, KKJ beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).
Lalu ada Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Serta Komite Keselamatan Jurnalis, secara khusus bertujuan untuk mengadvokasi kasus kekerasan terhadap jurnalis.
SOURCE: TEMPO.CO