SUKABUMIUPDATE.com - Dewan Pers menyoroti sejumlah ketentuan hukum dalam RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang mengancam kebebasan pers di Indonesia.
Ada beberapa poin dalam RKUHP yang dinilai bisa mengancam kebebasan pers. Karena itu Dewan Pers secara tegas menolak poin-poin tersebut.
Selain itu Dewan Pers mengaku Dewan Pers belum pernah dilibatkan dalam proses legislasi RKUHP (Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) sejak pertama kali menerima draf RUU tersebut di tahun 2017.
Baca Juga :
Usai menerima draf RUU itu, Dewan Pers bersama seluruh konstituennya menggelar diskusi untuk mengkaji RKUHP yang dianggap dapat mengancam kebebasan pers.
Lalu pada tahun 2018 Dewan Pers membentuk tim yang merumuskan tentang RKUHP ini.
Kemudian tahun 2019 Dewan Pers membuat petisi yang isinya menolak RKUHP yang ditujukan kepada Bambang Soesatyo selaku Ketua DPR RI waktu itu. Aksi ini membuahkan hasil yaitu RKUHP ditunda pembahasannya.
Dewan Pers sempat dijanjikan akan dilibatkan langsung dalam pembahasan RKUHP ini namun sejauh ini janji itu semu.
"Setelah mempelajari materi RUU KUHP versi terakhir 4 Juli 2022, Dewan Pers tidak melihat adanya perubahan pada delapan (8) poin yang sudah diajukan. Untuk itu Dewan Pers menyatakan agar pasal-pasal di bawah ini dihapus karena berpotensi mengancam kemerdekaan pers, mengkriminalisasi karya jurnalistik dan bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam UU Pers 40/1999 tentang Pers," kata Azyumardi di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (15/7/2022).
Azyumardi juga mengatakan di dalam pasal-pasal itu media dilarang memuat tulisan yang mengkritik pemerintah. Dia menyebut, walaupun ditulis, harus disertai dengan solusi.
"Jadi kalau misalnya pers memuat itu, kepada kekuasaan yang bersifat umum, jadi bukan hanya Presiden dan Wakil Presiden, tapi juga ke pemberitaan umum yang ada di bawah itu. Bahkan sampai ke tingkat yang paling bawah itu tidak bisa. Kalau kita mengkritik ya boleh mengkritik tapi harus ada solusinya. Oleh karena itu, media yang memuat kritik tapi tidak ada solusi itu bisa kena delik," sambungnya.
Adapun pasal-pasal dalam RKUHP yang mengancam kemerdekaan pers dan mengkriminalisasikan karya jurnalistik di antaranya;
- Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara;
- Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, perlu ditiadakan karena merupakan penjelmaan ketentuan-ketentuan tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan Nomor 013022/PUU-IV/2006;
- Pasal 240 dan 241 Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang sah , serta Pasal 246 dan 248 (penghasutan untuk melawan penguasa umum) Harus Dihapus karena sifat karet dari kata “penghinaan” dan "hasutan” sehingga mengancam kemerdekaan pers, kebebasan berpendapat dan berekspresi;
- Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong;
- Pasal 280 Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan;
- Pasal 302-304 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan;
- Pasal 351-352 Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara;
- Pasal 440 Tindak Pidana Penghinaa, pencemaran nama baik;
- Pasal 437, 443 Tindak Pidana Pencemaran.