SUKABUMIUPDATE.com - Awal tahun 2015, kecanduan internet dan game sudah mulai dibincangkan oleh ahli kesehatan jiwa, masuk kedalam salah satu gangguan kejiwaan karena memiliki ciri dan siklus yang sama dengan siklus kecanduan yang dialami oleh penderita kecanduan obat dan seksual.
"Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan kecanduan game sebagai salah satu daftar gangguan kesehatan mental. Gaming disorder akhirnya resmi ditetapkan sebagai penyakit mental dan tercatat dalam International Statistical Classification of Diseases (ICD) oleh WHO," ungkap Psikolog Klinis, Joko Kristiyanto kepada sukabumiupdate.com, Rabu (31/7/2019).
BACA JUGA: 16 Anak di Kota Sukabumi Harus Diterapi Akibat Kecanduan Game
Joko yang juga merupakan ketua Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) Bina Sejahtera Kota Sukabumi, menjelaskan, adapun ciri-ciri umum seseorang orang sudah mengalami kecanduan game adalah sebagai berikut.
Pertama, orang yang kecanduan game bisa dilihat dari intensitas atau frekuensinya bermain. Kedua, mereka juga cenderung memprioritaskan game diatas kegiatan lain, bahkan untuk makan dan tidur saja sering dilupakan. Ketiga, sekalipun sadar kalau dampak negatif bermain game sudah mulai terasa, mereka tetap akan melanjutkan permainan. Keempat, para pecandu akan mudah marah atau tersinggung saat dilarang atau diminta berhenti bermain. Kelima, mereka akan terus memikirkan game yang dimainkan walaupun sedang mengerjakan aktivitas lain atau berada di luar.
"Tapi bukan berarti semua gamers bisa dikatakan menderita penyakit mental, karena sebenarnya ada ciri-ciri khusus yang menunjukkan orang sudah benar-benar kecanduan game," tambah Joko.
Joko turut mengatakan, apabila dibiarkan gaming disorder ini, maka akan mengakibatkan terjadinya kerusakan syaraf otak pada orang tersebut, bahkan penderita di beberapa kota di Indonesia, sudah mengalami shizofrenia dan ODGJ.
BACA JUGA: Game PUBG jadi Kontroversi, di Sukabumi Malah Ada Kompetisi
Game itu sebetulnya juga ada nilai positif manakala game menjadi sebuah aktivitas yang bersifat merefresh, namun bila sudah mengganggu aktivitas, bahkan bermain game hanya menjadi satu-satunya aktivitas, mak sudah menjadi masalah.
"Harus ada manajemen waktu, dan sebaiknya hanya di hari libur sekolah saja. Durasi waktu bermain pun tidak terlalu lama, harus ada alokasi waktu dengan aktivitas lainnya, mulai dari ibadah, mandi, makan, berinteraksi sosial, tidur, dan lain sebagainya," pungkas Joko.