SUKABUMIUPDATE.com - Kasus kekerasan seksual terhadap anak masih kerap terjadi di Sukabumi. Paling baru, terjadi di Desa Sukamantri Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi, di mana seorang pria berinisial T (70 tahun) diduga melakukan pencabulan terhadap tujuh anak di bawah umur.
Peristiwa tersebut mendapat atensi serius dari Komnas Perlindungan Anak hingga harus melakukan audiensi dengan Kapolres Sukabumi Kota, Rabu (5/8/2020).
Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan, pihaknya bersama Polres Sukabumi Kota akan melakukan tracing atau pelacakan terhadap para korban kekerasan seksual yang sebelumnya telah terjadi.
BACA JUGA: Kasus Kejahatan Seksual Anak Kembali Terulang, Komnas PA Pertanyakan Upaya Pemerintah Sukabumi
"Harus diwaspadai Sukabumi itu zona merah kekerasan terhadap anak. Itulah respon dari Polres Sukabumi Kota yang mau kita apresiasi. Caranya adalah, korban-korban yang dulu mungkin terlibat, masih pendataan, kasus Emon, apakah korban-korban yang belum termonitor itu justru dia pelaku yang sama. Kan biasanya korban itu akan melakukan tindakan juga yang sama. Itu loh keprihatinan kami. Jangan sampai dibiarkan," kata Arist kepada awak media usai audiensi.
Arist mengungkapkan, potensi para korban kekerasan seksual untuk selanjutnya menjadi pelaku dalam kasus yang sama sangatlah besar. Hal itu akan terjadi apabila tidak dilakukan terapi terhadap para korban kekerasan seksual tersebut.
"Kasus Emon juga dulu mengaku menjadi korban. Termasuk yang di Kabupaten Sukabumi, itu juga mengaku dia pernah jadi korban, kemudian melakukan hal yang sama. Kita akan melakukan langkah-langkah untuk terapi kepada korban. Tadi kami sudah sepakat akan ada psikolog untuk menangani darurat kejahatan seksual di Sukabumi," ungkap Arist.
BACA JUGA: Terus Terjadi, Komnas PA Nyatakan Sukabumi Zona Merah Kejahatan Seksual Anak
Arist menuturkan, dalam masa pandemi Covid-19 ini, Sukabumi cukup menjadi sorotan dalam beberapa kasus kekerasan seksual terhadap anak. Setidaknya itu terlihat dari beberapa kasus terbaru, seperti kasus yang dilakukan FCR (23 tahun) di Kalapanunggal Kabupaten Sukabumi, dengan korban puluhan anak. Kemudian kasus yang dilakukan pria berinisial T (70 tahun) di Desa Sukamantri Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi yang hingga hari ini belum tertangkap.
"Nasional sebenarnya, di masa Covid-19 saja dari Maret sampai Juni, termasuk kalau saya kutip data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ada sekitar 3.700-an lebih korban. Di Komnas PA dalam kurun waktu yang sama, angka kekerasan seksual juga tinggi, 809 yang kita terima, itu artinya 52 persen itu didominasi oleh kejahatan seksual. Dari urutan-urutan yang terjadi, yang viral sekarang ini, Sukabumi justru terdapat," papar Arist.
Arist juga mengingatkan bahwa kasus kekerasan seksual, terutama terhadap anak, selalu memiliki ciri tersendiri berupa catatan khusus nama-nama korban yang ditulis oleh pelaku. Hal itu, sambung Arist, akan memudahkan pihak kepolisian dalam melakukan pelacakan terhadap para korban.
"Kejahatan seperti itu, dia punya catatan khusus. Kalau yang di Sukabumi itu dicatatkan di tembok, dulu Emon dicatatkan di buku disimpan di tutup televisi. Di Lampung juga demikian di atas lemari. Ketika penyidik mencari data, itu bisa dari itu," ujar Arist.
BACA JUGA: Ungkap Kasus Predator Anak, Komnas PA Beri Pengharagaan ke Polres Sukabumi
"Caranya bukan dengan pendekatan introgatif. Itu bisa dilakukan. Jadi cara-cara persuasif. Itu tadi, ia pasti menyimpan nama itu. Itu pengalaman empirik. Komnas PA itu membongkar kasus-kasus sodomi, pasti ada nama. Sehingga itu mempermudah dalam memberikan data dan petunjuk kepada pihak kepolisian. Pengakuan pelaku enggak penting, yang penting adalah bukti," tambah Arist.
"Penyebabnya memang terkadang ada perilaku sosial, dalam arti konteks ketahanan keluarga, pola asuh yang salah. Membiarkan terjadinya kekerasan dan tidak diterapi. Sehingga pola asuh yang di rumah jadi salah," bebernya.
"Kepedulian orang tua juga sangat lemah. Jadi saya kira menempatkan pola asuh itu yang harus benar. Pemahaman tentang bagaimana rumah sebenarnya harus terus-menerus beribadah, rumah harus bersahabat. Bukan hanya sekedar kemiskinan. Kemiskinan itu memperkuat perilaku. Bukan bersumber dari kemiskinan," pungkasnya.