SUKABUMIUPDATE.com - Hidayatullah (40 tahun), warga kampung Pasir Salam, RT 2 RW 5, Desa Kertaangsana, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi adalah seorang difabel. Sejak lahir Ia tak mempunyai kedua tangan yang utuh.
Di tengah keterbatasan, pria yang akrab disapa Dayung ini terbiasa hidup mandiri. Ia tinggal bersama kakak tertuanya, Karman (53) dan keluarganya, sejak delapan tahun lalu setelah kedua orang meninggal.
Dayung punya beberapa kegiatan favorit, diantaranya catur, sepakbola, dan melukis. Karya lukisan dan kaligrafi hasil kerajinan Dayung biasa dibeli tetangga dan anak-anak sekolah dengan harga Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu. Media lukis yang digunakan tergolong sederhana, hanya menggunakan karton dan alat tulis seadanya.
BACA JUGA: Lewat Karya Seni, Pemuda Sagaranten Sukabumi Berdayakan Rekan yang Menganggur
Sayangnya, Dayung kini mengalami kesulitan untuk memproduksi kembali lukisan. Ia kesulitan membeli alat lukis yang harus dibeli dari daerah Kota Sukabumi.
Selain melukis, Dayung juga punya keahlian lain. Bahkan pernah menjadi pengajar di sekolah agama, meski terhenti karena Dayung merasa tidak percaya diri. Padahal keahliannya dalam bidang keagamaan tak diragukan lagi, Dayung dikenal Pria yang taat beribadah di kampungnya.
<iframe src="//www.youtube.com/embed/nlmpRXkMBw8" width="315" height="177" frameborder="0" allowfullscreen="allowfullscreen"></iframe>
"Kadang saya tidak percaya diri dan merasa orang lain sinis sama saya, padahal mungkin itu hanya perasaan saya saja," ungkap Dayung sedih.
Dayung yang sangat dekat dengan ibunya,mengaku sangat kehilangan ibu nya karena ibunya yang selama ini slalu memberi semangat Dayung.
BACA JUGA: Engkus, Tutor Bahasa Inggris Online Difabel Asal Nyalindung Sukabumi
"Sejak ibu saya meninggal saya seperti nya tak punya semangat hidup lagi, bahkan mau ngelukis pun kadang malas," ungkap Dayung sambil membasuh air matanya dengan kaki.
Untuk diketahui, Dayung pernah mengenyam bangku pendidikan hingga tingkat SLTP di Kalimantan. Saat itu Ia ikut dengan orang tua, yang mengikuti program transmigrasi bersama kedua orangtua nya. Namun pada tahun 1995 tepat pada saat Dayung lulus dari SLTP, ke dua orangtuanya memutuskan untuk pindah ke kampung halamannya di Nyalindung.
"Saya sering di ajak minta minta, tapi saya tolak karena saya tidak di ajar kan orang tua saya, bahkan kalau ada mah saya pingin banget bantu orang lain," pungkas Dayung.