SUKABUMIUPDATE.com - Pimpinan Cabang Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PC FSP TSK-SPSI) Kabupaten Sukabumi membeberkan sejumlah alasan mengapa Upah Minimum Kabupaten (UMK) tahun 2021 harus naik.
Ketua PC FSP TSK-SPSI Kabupaten Sukabumi Mochammad Popon dalam keterangan tertulisnya kepada sukabumiupdate.com mengatakan, Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/11/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dinilai mengecewakan kaum buruh. Pasalnya, SE tersebut mengimbau untuk tidak ada kenaikan upah minimun di tahun 2021.
Menanggapi SE tersebut, Popon memaparkan sejumlah alasan mengapa UMK tahun 2021 harus naik.
1. Komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Meningkat
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah telah mengeluarkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2020 tentang penambahan komponen KHL sebagai amanat dari PP Nomor 78 Tahun 2015 yang mengharuskan adanya evaluasi komponen KHL. Dalam Permenaker Nomor 18 Tahun 2020 terdapat 64 komponen KHL, bertambah 4 komponen dari yang sebelumnya hanya 60.
"Walaupun pemerintah terkesan mengelabui dengan penambahan komponen KHL itu, karena ada item atau komponen yang nilai atau volume-nya justru diturunkan. Dan idealnya memang tidak nambah 4 komponen, tapi semestinya sekitar 80 komponen," kata Popon, Jumat (13/11/2020).
"Tapi dengan penambahan komponen KHL itu jelas berpengaruh terhadap bertambahnya nilai kebutuhan layak sebagai dasar evaluasi untuk kebijakan kenaikan upah minimum setiap lima tahun sekali sebagaimana diamanatkan oleh PP Nomor 78 Tahun 2015," jelas Popon.
BACA JUGA: UMK 2021 Kabupaten Sukabumi Belum Ditetapkan, Cek Rencana Aksi Buruh
2. Nilai KHL Bertambah
Dengan bertambahnya komponen KHL dari 60 menjadi 64, sambung Popon, pihaknya telah melakukan survei mandiri yang kemudian dilanjutkan dengan simulasi menggunakan perbandingan antara 60 komponen dan 64 komponen KHL tersebut. Popon menyebut, jelas ada kenaikan terhadap nilai KHL itu sendiri.
"Dari hasil simulasi itu ada perbedaan hasil sekitar 5,26 persen, dan itu artinya penambahan komponen KHL sangat berkorelasi erat terhadap penambahan kebutuhan hidup layak buruh. Di mana dengan menggunakan simulasi 60 komponen KHL, hanya menghasilkan Rp 3.032.500 (hasil pembulatan), sementara dengan menggunakan tambahan komponen KHL yang baru yakni 64 komponen, menghasilkan nilai KHL sebesar Rp 3.192.009. Artinya, ada kenaikan nilai KHL sebesar 5,26 persen," papar Popon.
3. UMK yang Ditetapkan adalah untuk Tahun Depan
Popon berujar, kenaikan UMK yang dituntutnya adalah UMK untuk tahun 2021 bukan untuk tahun ini. Dengan kata lain, sambung Popon, pihaknya merasa tidak adil dan tidak berdasar bila penentuan nasib buruh tahun depan didasarkan pada kondisi sulit tahun ini.
"Tahun kemarin semua petinggi negeri optimis tahun ini pertumbuhan ekonomi akan baik, tapi apa faktanya? Tuhan mengirimkan ujian Pandemi Covid-19 dan semua tatanan menjadi hancur lebur," kata Popon. "Begitu pun tahun depan, tidak boleh pejabat negara mendahului Tuhan, seolah tahun depan kondisi sangat sulit dan sebagainya, di mana ujung-ujungnya hanya bisa menumbalkan buruh," katanya lagi.
4. SE Menaker Tidak Mengikat
Popon menuturkan, langkah Gubernur DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DIY yang menaikkan upah minimun menjadi indikasi bahwa SE Menaker tidak mengikat dan tidak didasarkan pada kalkulasi yang matang.
"Kalau DIY dan Jawa Tengah kita bisa paham karena upah minimum di kedua daerah itu memang sangat rendah. Tapi kalau untuk Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan DKI Jakarta itu upah minimum dan upahnya hampir sama. Dan untuk Sulawesi Selatan dan DKI Jakarta jauh di atas Jawa barat upah minimum-nya," kata Popon. "Jadi yang jadi pertanyaan kenapa gubernur tersebut menaikkan upah minimum, sementara Gubernur Jawa Barat tidak menaikkan upah minimum provinsinya, sementara upahnya di daerah-daerah tersebut jauh lebih tinggi di atas Jawa barat," tambahnya.
5. Covid-19 Bukan Alasan Tidak Menaikkan Upah Minimum
Popon menilai, Covid-19 tidak menjadi alasan untuk tidak menaikkan upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota. Sebab, kata Popon, DKI Jakarta dan Jawa Timur menjadi provinsi yang memiliki kasus Covid-19 tinggi secara nasional. Namun faktanya kedua provinsi tersebut menaikkan upah minimum provinsinya.
"Kalau memang alasannya Pandemi Covid-19, tidak mungkin Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Jawa Timur menaikkan upah minimum provinsi mereka karena di daerah tersebut jelas-jelas kurva penyebaran Covid-19 sangat tinggi," ucap Popon.
Berdasarkan data yang dikutip dari https://covid19.go.id/ per tanggal 12 November 2020, total kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia berjumlah 452.291 kasus, di mana kasus aktif berada di angka 55.274 kasus atau 12,2 persen dari dari total kasus terkonfirmasi positif.
Dari data tersebut, DKI Jakarta berada di urutan tertinggi dengan kasus sebanyak 115.174 (25,5 persen), lalu Jawa Timur 55.575 (12,3 persen), dan Jawa Barat di angka 42.572 (9,4 persen).
BACA JUGA: Seruan Mogok Kerja Buruh Sukabumi Jika UMK 2021 Tidak Naik, Popon: 18-20 November
6. Tingginya Angka Pengangguran di Jawa Barat Bukan Salah Buruh
Popon menegaskan, bila yang menjadi alasan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil untuk tidak menaikkan upah minimum provinsi dan kabupaten/kota adalah jumlah pengangguran di Jawa Barat yang menjadi tertinggi di tingkat nasional, maka bukan menjadi hal yang bijak bila kaum buruh dijadikan sebagai kambing hitam.
"Tugasnya pemerintah itu menyediakan lapangan kerja bagi rakyat dan melindungi mereka yang masih bekerja, bukan malah mengorbankannya," pungkas Popon.
Sebelumnya diberitakan, Pemerintah Kabupaten Sukabumi hingga saat ini belum menetapkan rekomendasi Upah Minimum Kabupaten (UMK) tahun 2021. Hal itu sontak mengundang reaksi dari elemen buruh.
PC FSP TSK-SPSI Kabupaten Sukabumi pun menegaskan bahwa bila sampai tanggal 18 November 2020 rekomendasi UMK tahun 2021 belum ditetapkan, maka mereka akan melakukan aksi di Pendopo Sukabumi.
Tak cukup di sana, PC FSP TSK-SPSI Kabupaten Sukabumi juga meminta UMK tahun 2021 ini mengalami kenaikan. Popon menyebut, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menaikkan UMK tahun 2021.
Namun hingga saat ini belum ada informasi kapan penetapan rekomendasi UMK tahun 2021 itu akan dilakukan. "Belum ada jadwal. Komunikasi terus intens dilakukan, tapi belum ada respon dari pemerintah," kata Popon kepada sukabumiupdate.com, Kamis (12/11/2020).
Semula pembahasan soal rekomendasi UMK tahun 2021 ini akan dilakukan dalam rangkaian agenda pelantikan anggota Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit dan anggota Dewan Pengupahan Kabupaten Sukabumi masa bakti 2020-2023 yang digelar di Hotel Sukabumi Indah pada tanggal 11-12 November 2020.
Tetapi, hal itu diprotes oleh elemen buruh karena dianggap tidak sesuai. Pasalnya, dalam agenda tersebut belum ada pembahasan apapun namun hanya sebatas pembekalan.
Catatan redaksi: naskah berita ini mengalami perubahan pada pukul 12.29 WIB. Perubahan terjadi pada angka kasus Covid-19 di Indonesia.
Ingat pesan ibu:
Wajib 3M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun). Redaksi sukabumiupdate.com mengajak seluruh pembaca untuk menerapkan protokol kesehatan Covid-19 di setiap kegiatan.