SUKABUMIUPDATE.com - Kesehatan mental dapat menyerang siapa saja dan tak pandang bulu, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak.
Menurut Laporan Riskesdas Republik Indonesia menunjukan data per tahun 2018 bahwa 69% orang Indonesia mengalami gangguan jiwa berat seperti skizofrenia (tidak terlampir klasifikasi genre), 61% Depresi sekira 4,7 % dialami laki – laki dan 7,4 % dialami oleh perempuan dan gangguan emosional 9,8%, 7,6% dialami oleh laki – laki dan 12,1% dialami oleh Perempuan.
Baca Juga :
Secara angka, kesehatan mental kerap dialami oleh perempuan, tak sedikit juga dialami oleh laki-laki. Namun fakta lain membuktikan jika banyak laki-laki yang enggan berbicara tentang kesehatan mental mereka.
Contoh di bidang psikologi khususnya kesehatan mental, cenderung didominasi oleh kaum perempuan. Di kalangan Mahasiswa, jurusan psikologi pun jumlah mahasiswanya hampir selalu menunjukkan perbandingan yang kontras antara perempuan dan laki-laki.
Kebanyakan aktivis di bidang kesehatan juga perempuan ketimbang laki-laki. Lebih jarang mencari bantuan profesional dibanding perempuan
Padahal pada kenyataannya laki-laki tiga kali lebih banyak daripada perempuan, meninggal karena bunuh diri. Data di atas juga menunjukkan bahwa tak sedikit diantara mereka yang mengalami gangguan mental.
Lalu apa penyebabnya?
Toxic Masculinity
Dalam sebuah studi yang dimuat di Journal of Psychology. Studi tersebut memberikan definisi toxic masculinity sebagai kumpulan sifat maskulin laki-laki dalam konstruksi sosial.
Sifat maskulin tersebut difungsikan untuk mendorong laki-laki agar dapat dominasi, melakukan kekerasan, homofobia dan perendahan terhadap perempuan.
Dalam toxic masculinity, definisi maskulinitas yang lekat sebagai sifat laki- laki yang identik dengan kekerasan, agresif secara seksual dan tidak boleh menunjukkan emosi untuk dapat diterima di sekitarnya.
Jika digali lebih dalam bahwa kondisi tersebut sangat didukung penuh oleh kebudayaan Indonesia, dimana patriarkhal yang berpandangan bahwa laki-laki lebih kuat dan harus memimpin.
Stigma kultural tersebutlah yang kemudian menjadikan Laki-laki harus kuat, kuat secara fisik dan agresif, laki-laki tidak feminim yang artinya tidak emosional, dapat mengerjakan segala hal sendirian serta laki-laki harus berkuasa, dimana laki-laki berjuang untuk memperoleh kekuasaan dan status.
Dalam kehidupan sehari-hari Toxic Masculinity dapat ditemukan dengan ciri-ciri berikut:
1. Laki-laki tidak boleh mengeluh dan menangis.
2. Self-care, self-love akan aneh jika diterapkan di laki-laki.
3. Dalam konflik cowok harus jantan dengan menunjukkan kekerasan (fisik maupun emosional).
4. Tidak beresiko (kebut-kebutan, obat-obatan terlarang, rokok) membuat laki-laki terlihat keren.
Adapun beberapa ciri atau perwujudan secara umum dari toxic masculinity yang kerap dilakukan maupun disematkan terhadap laki-laki:
1. Tidak boleh mengeluh dan menangis.
2. Melakukan tindak kekerasan pada orang lain.
3. Menunjukkan dominasi dan kekuasaan terhadap orang lain.
4. Melakukan kekerasan dan agresivitas seksual terhadap pasangan dan orang lain.
5. Merasa tidak perlu membela hak perempuan dan kaum marjinal lain.
6. Mengagungkan tindakan berisiko, seperti menyetir kendaraan dengan kecepatan tinggi dan mengonsumsi obat terlarang.
7. Enggan untuk melakukan aktivitas yang dianggap hanya milik perempuan, seperti memasak, menyapu rumah, berkebun, dan mengasuh anak.
Dari beberapa ciri dan perwujudan Toxic Masculinity, jika stigma tersebut masih di terapkan, maka bahaya dari Toxic Masculinity adalah:
1. Enggan pergi ke bantuan professional
2. Memendam emosi
3. Gangguan mental
4. Kekerasan sexual
5. Penyalahgunaan obat – obatan
6. Merasa sendirian
7. Terbebani dengan pikirannya
8. Empati rendah
Stigma Toxic Masculinity bisa dihindari dan dikurangi dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Psikoedukasi
Membaca dan menyebarkan psikoedukasi (edukasi psikologi). Untuk meningkatkan kesadaran bahwa Toxic Masculinity itu hadir ditengah-tengah masyarakat dan hanya merupakan stigma. Psikoedukasi ini dapat juga diterapkan untuk mengedukasi anak-anak sejak dini.
Misal dengan memberikan edukasi bahwa anak laki-laki juga boleh untuk menangis ketika ada hal yang harus ditangisi.
Menghindari kalimat atau istilah yang menunjukkan bias gender missal dengan “jangan seperti anak perempuan!”
2. Self Awareness
Bisa memahami diri sendiri, seperti apa yang sedang dirasakan, apa kelebihan dan kelemahan yang dimiliki.
Dengan self-awareness, kita dapat sadar akan perasaan, batasan dan apa yang lebih baik untuk kita sendiri, serta bila membutuhkan bantuan professional.