SUKABUMIUPDATE.com - Rita Endang selaku Deputi Bidang Pengawasan Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), membeberkan tujuh jenis penyakit yang diakibatkan oleh bahan kimia Bisfenol A (BPA) pada galon guna ulang yang beredar luas di masyarakat.
"BPA bekerja dengan mekanisme endocrine disruptor, khususnya hormon estrogen," katanya dalam keterangannya, Senin, (6/6/2022), yang dilansir dari suara.com.
Ia menggambarkan proses terganggunya sistem hormon tubuh akibat BPA yang berpindah dari kemasan pangan. Rita menyebut gangguan sistem hormon tersebut utamanya berdampak pada sistem reproduksi, baik pada pria dan wanita.
"Gangguan dapat menyebabkan kemandulan (infertilitas), menurunnya jumlah dan kualitas air mani, feminisasi pada janin laki-laki, gangguan libi do, sulit eja kulasi," katanya merinci.
Gangguan lainnya berupa munculnya penyakit tidak menular semisal diabetes dan obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal kronis, kanker prostat dan kanker payudara.
Selain itu, masih ada efek serius berupa gangguan perkembangan kesehatan mental dan autisme pada anak-anak.
"Data tersebut merujuk pada hasil riset dan kajian di berbagai negara, termasuk dari dalam negeri yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada dan Universitas Airlangga" kata Rita menjelaskan kajian referensi standar yang mendasari penyusunan draft regulasi pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang berbahan plastik polikarbonat--pembuatannya menggunakan BPA.
Dalam draft revisi kedua peraturan BPOM tentang label pangan olahan, dipublikasi pertama kali pada November 2021, BPOM mewajibkan produsen air kemasan yang menggunakan galon berbahan plastik polikarbonat untuk memasang label peringatan "Berpotensi Mengandung BPA", kecuali mampu membuktikan sebaliknya.
Draft juga mencantumkan masa tenggang (grace period) penerapan aturan selama tiga tahun sejak pengesahan.
Rita mengatakan penyusunan draft itu-- saat ini memasuki fase revisi lanjutan di BPOM --antara lain merujuk pada trend pengetatan ambang Tolerable Daily Intake (jumlah BPA yang wajar dikonsumsi tubuh) di sejumlah negara.
"Aturan TDI semakin ketat, termasuk di Eropa" katanya.
Sebagai perbandingan, sejak 2019, Indonesia mematok level migrasi BPA 0,6 bpj sebagai syarat yang harus dipatuhi semua produsen pangan, termasuk produsen galon bermerek, yang menggunakan kemasan dari jenis plastik polikarbonat--pembuatannya menggunakan BPA.
Namun, menurut Rita, hasil pengecekan paska pasar yang dilakukan BPOM atas galon guna ulang yang beredar luas di masyarakat periode 2021-2022 menunjukkan level migrasi BPA tak bisa lagi dipandang sebelah mata.
"Hasil pengecekan menunjukkan ada 3,4 persen dari total sampel galon air minum pada sarana distribusi dan peredaran yang level migrasi BPA-nya sudah di atas ambang batas aman 0,6 bpj," katanya.
Sementara itu, lanjut Rita, hasil uji juga menunjukkan level migrasi yang mengkhawatirkan, berada di antara ambang batas 0,05 - 0,6 bpj, mencapai 46,97 persen dari total sampel pada sarana distribusi dan peredaran serta 30,91 persen pada sarana produksi.
"Ini artinya migrasi BPA pada galon guna ulang sudah sangat mengkhawatirkan dan karena itulah BPOM hadir untuk menyusun regulasi terkait pelabelan risiko BPA," katanya.
Terkait hal tersebut, Rita menyebut draft regulasi pelabelan tersebut sekaligus bertujuan mendidik publik, menunaikan hak konsumen atas informasi produk yang detail dan memecut industri air kemasan untuk berlomba menghadirkan kemasan yang lebih aman dan sehat untuk masyarakat luas.
Baca Juga :
SOURCE: SUARA.COM