SUKABUMIUPDATE.com - Di bulan Suci Ramadhan, umat muslim tidak hanya berpuasa secara fisik seperti menahan lapar dan dahaga akan tetapi juga berpuasa secara mental dengan menjaga emosi.
Namun, menahan emosi saat lapar terasa lebih sulit bukan, untuk beberapa orang.
Lantas, apa mekanisme dibalik peristiwa ini?
Sebelum membahas emosi, mengutip dari @Neuron diketahui bahwa otak manusia, bergantung pada glukosa sebagai sumber energi utama.
Pada orang dewasa, berat otak hanya menyumbang sekira 2% dari total berat tubuh. Tetapi otak mengkonsumsi hingga 20% dari total energi yang dihasilkan oleh glukosa.
Sehingga, dalam keadaan berpuasa saat kadar gula darah menurun otimastis tingkat atensi atau perhatian juga akan berkurang karena otak sedang tidak prima dalam menerima ataupun berfokus pada informasi.
Didalam otak, terdapat suatu struktur bernama Hipokampus yang bekerja untuk mendeteksi rasa lapar dan dekat dengan struktur ini, terdapat juga Amigdala yang berfungsi sebagai pengatur emosi. Bersama dengan struktur lainnya, kedua stuktur ini bergabung menjadi sistem limbik yang juga disebut otak primitif. Mereka berfungsi untuk meregulasi emosi, memori dan hawa nafsu.
Peran glukosa sangatlah penting sebagai penyumbang energi untuk mengontrol emosi. jika menelaah lebih dalam lagi pada aktivitas kimia dalam sel saraf, terdapat perubahan neurotransmitter selama kita berpuasa.
Pada saat makan, gula darah yang naik meningkatkan pelepasan serotonin di otak yaitu senyawa bahagia dan dalam keadaan sebaliknya, jika gula darah turun maka pelepasan serotonin berkurang.
Kekurangan serotonin tersebut, menyebabkan seseorang lebih mudah marah. Dilihat dari keseluruhan sistem tubuh, penurunan glukosa juga menyebabkan reaksi hormonal yang bertujuan untuk meningkatkan kadar glukosa dalam darah.
Terdapat dua hormon penting yang terlibat dalam mekanisme emosi yaitu epinephrine dan kortisol. Kedua hormon ini dilepaskan ke dalam sirkulasi darah saat dalam keadaan stress.
Dalam kasus ini, penyebabnya adalah stres fisik dari rendahnya gula darah.
Diantara kedua hormon ini, keberadaan epinephrine dapat membuat seseorang lebih emosi. selain itu, hormon epinephrine bersinergi dengan kortisol membentuk fight or flight response yakni reaksi yang terjadi sebagai respons terhadap stress.
Demi bertahan hidup sebagai bagian dari psikologi evolusi yang dibutuhkan pada masa dulu. Pada masa sekarang, respons ini bermanifestasi dalam bentuk kemampuan untuk mengontrol diri yang berkurang dalam bidang kebiasaan menghindari kebiasaan buruk seperti merokok, mengatasi stress tindakan impulsif dan sifat agresif.