SUKABUMIUPDATE.com - Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) drh Slamet menanggapi potensi naiknya harga tahu dan tempe akibat melambungnya harga kedelai impor. Ia menyatakan pemerintah harus segera melakukan intervensi dan pengelolaan yang baik.
"Tahu dan tempe ini bukan hanya kebutuhan pedagang, tapi juga menyangkut rakyat, terutama asupan gizi yang paling murah hari ini tahu tempe kedelai. Kalau pemerintah tidak segera intervensi mengelola dengan baik, masalah ini akan terus berulang dan ini bukan yang pertama, tapi untuk yang kesekian kalinya," katanya, Senin, 14 Februari 2022.
Ketua umum Perhimpunan Petani dan Nelayan Seluruh Indonesia atau PPNSI ini meminta pemerintah segera melakukan langkah-langkah tepat dan strategis serta mencari solusi di antaranya agar segera merealisasikan pembentukan Badan Pangan Nasional. Menurut Slamet, akar masalahnya adalah tidak segera terwujudnya Badan Pangan Nasional.
"Saya juga heran, masalahnya ada di mana badan ini belum juga terwujud. Padahal, sembilan bulan Perpres sudah dikeluarkan presiden. Apakah Presiden Jokowi perintahnya sudah tidak berpetuah, akhirnya diabaikan anak buahnya? Ini sudah masalah rutin yang terus berulang setiap tahun, harusnya pemerintah tanggap," kata dia.
Baca Juga :
Data Kementerian Pertanian menyebutkan sekitar 86,4 persen kebutuhan kedelai di dalam negeri berasal dari impor. Hingga 2020, BPS mencatat impor kedelai sebesar 2,48 juta ton dengan nilai mencapai US$ 1 miliar.
Ada beberapa hal yang menyebabkan Indonesia harus mengimpor kedelai. Pertama, produksi dalam negeri yang rendah. Bahan dalam satu dekade terakhir, produksi kedelai nasional cenderung turun dari 907 ribu ton pada 2010 menjadi 424,2 ribu ton pada 2019. Luas lahan panen yang terus menyusut dari 660,8 ribu hektare pada 2010 menjadi 285,3 ribu hektare pada 2019. Hal ini juga dipengaruhi perubahan fungsi lahan ke sektor non-pertanian.
Kedua, kurang berminatnya produsen tempe terhadap kedelai lokal. Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifudin mengatakan, kualitas kedelai lokal di bawah produk impor.
Ketiga, petani menganggap budi daya kedelai tidak menguntungkan. Berdasarkan data BPS, harga produksi kedelai di tingkat petani rata-rata sebesar Rp 8.248 per kilogram. Namun ketika dijual ke konsumen hanya sekitar Rp 10.415 per kilogram.
SUMBER: SIARAN PERS