SUKABUMIUPDATE.com - Sudah lama masyarakat Tionghoa menjadi bagian perjalanan sejarah Sukabumi. Catatan statistik tertua dari Belanda menyebutkan keluarga Tionghoa di Sukabumi sudah tinggal sejak 200 tahun lalu (1821). Namun, berdasarkan catatan lokal jauh sebelum itu, pendakwah muslim Tionghoa dari Cirebon sudah memasuki daerah ini.
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan pendakwah muslim Tionghoa dari Cirebon tersebut sudah memasuki Sukabumi pada masa Pajajaran. Bahkan menurut catatan penulis Belanda, pada 1500 kapal Tionghoa sudah memasuki Palabuhanratu dan sebagian rombongannya bergerak ke pegunungan Dayeuhluhur dan Pamotan, Jawa Tengah.
Panjangnya relasi menyisakan banyak jejak mulai kuliner, istilah ekonomi, hingga aukulturasi budaya spiritual. Mereka bahkan melakukan ritual muludan bersama warga lokal Sukabumi. Perannya dalam bidang ekonomi saat masa kolonial seperti percetakan, persuratkabaran, tekstil, perkebunan, dan lain-lain, mengangkat Sukabumi menjadi wilayah strategis dan dikenal luas.
"Hubungan sosial dengan masyarakat tak ubahnya hubungan sosial biasa. Ada yang baik, jahil, unik, bahkan ada yang tragis. Misalnya ada pekerja kina di Sukabumi orang Tionghoa yang membunuh orang Belanda yang menjadi bosnya karna gajinya ditahan," kata Irman yang juga Ketua Yayasan Dapuran Kipahare, Senin, 24 Januari 2022.
Irman mengungkapkan penentangan terhadap kolonial juga dilakukan lewat cara unik seperti memaki orang Belanda karena tidak memperbolehkan duduk di kursi orang Eropa. Ini adalah penentangan yang sangat dilarang pada masa itu.
Baca Juga :
Di sisi lain, pemerintah kolonial menjadikan posisi masyarakat Tionghoa dalam hal ekonomi dan hukum serba salah karena dicap pro penjajah, meski banyak para pejuang Tionghoa Sukabumi yang turut menentang penjajah, bahkan di antaranya tewas demi mempertahankan kemerdekaan.
Kebingungan masa revolusi dan provokasi Belanda melalui laskar Pao An Tui sempat menjadi dilema yang berujung sebagai korban dilematik. Namun, fakta tersebut tidak menutup fakta lain bahwa kemerdekaan juga didukung penuh oleh peran masyarakat Tionghoa. Bahkan Kawilarang menyebut nama orang Tionghoa Sukabumi dalam dukungan logistik para pejuang.
"Pertigaan Si Godeg menjadi saksi salah seorang Tionghoa yang berjasa mendukung perjuangan hingga Belanda hengkang," ujar Irman yang sudah menulis beberapa buku, salah satunya buku "Soekaboemi the Untold Story" dan "Hikayat Masyarakat Tionghoa Sukabumi".
Simpang tiga Si Godeg atau Cigodeg di Jalan RH Didi Sukardi, Kecamatan Citamiang, Kota Sukabumi, merupakan rumah orang Tionghoa bernama Lay tin Yung. Sebab memilik godeg, maka disebut Si Godeg. "Dulu berjuang membantu bagian logistik dan gerilya bersama pasukan Batalyon VII pimpinan Kabul Siraj," imbuh Irman.
Juga ada nama Lie Tek Fok yang memberikan banyak hartanya mendukung perjuangan. Keluarga mereka masih ada hingga kini. Pun para tokoh Tionghoa Sukabumi banyak yang berpengaruh dalam pentas nasional dan internasional dari dulu hingga kini."
Masa masa sulit juga dialami mulai dari penculikan di Sagaranten, dampak Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959 tentang Larangan bagi Usaha Perdagangan Kecil dan Eceran yang Bersifat Asing di Luar Ibu Kota Daerah Swatantra Tingkat I dan II serta Karesidenan, peristiwa Mei 1963, hingga masa Orde Baru. Tetapi, berkat keuletannya, masyarakat Tionghoa Sukabumi mampu bertahan.
"Proses asimilasi sosial alamiah juga terus berlangsung sejak masa reformasi seiring banyaknya deregulasi yang memberikan nafas ke-bhinneka-an. Proses ini terus diupayakan beragam komunitas Tionghoa yang ada di Sukabumi saat ini," tutup Irman.