SUKABUMIUPDATE.com - Orang Indonesia gampang terjebak hoaks dan menjadi target penipuan di dunia maya, menurut yang diungkapkan Nadia Fauzia Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).
Dikutip dari Suara.com, pasalnya, Nadia mengatakan, orang Indonesia tidak memiliki kemampuan literasi digital yang mumpuni.
Hal itu tak sebanding dengan tingginya jumlah pengguna internet di Indonesia.
"Faktanya, masyarakat Indonesia cukup rawan terpapar hoaks dan misinformasi, terlibat dalam perundungan siber, serta menjadi target penipuan di dunia maya," kata Nadia dalam keterangannya, Senin (10/10/2022).
Berdasarkan data dari Economist Intelligence Unit 2020, Indonesia berada di peringkat 61 dari 100 negara terkait dengan kesiapan menggunakan internet.
Posisi Indonesia lebih rendah dan tertinggal cukup jauh dari negara tetangga seperti Singapura (peringkat 22) dan Malaysia (peringkat 33).
"Dalam konteks pandemi Covid-19, maraknya misinformasi atau hoaks menunjukkan rendahnya literasi digital dapat mempengaruhi usaha pemerintah dan masyarakat untuk menangani pandemi," lanjut Nadia.
Dia menilai, kemampuan literasi digital sangat dipengaruhi dengan kemampuan literasi baca tulis yakni kemampuan membaca, menulis, mencari, menganalisis, mengolah dan membagikan teks tertulis.
Sayangnya, performa Indonesia di bidang literasi baca tulis termasuk rendah.
Berdasarkan hasil dari survei Programme for International Students Assessment (PISA) tahun 2018, Indonesia berada di peringkat 71 dari 79 negara.
Dipaparkan bahwa hanya 30 persen peserta didik yang menunjukkan setidaknya kemampuan level 2 dibandingkan dengan 77 persen peserta didik di negara-negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).
"Salah satu faktor penyebab rendahnya literasi masyarakat Indonesia adalah kurangnya penekanan pada keterampilan berpikir kritis sejak usia dini. Padahal, literasi digital perlu diasah sejak dari pendidikan dasar," tuturnya.
Tantangan lainnya adalah struktural, yaitu ketimpangan akses internet antar daerah yang dinilai Nadia juga mempersulit adopsi literasi digital.
Nadia merekomendasikan beberapa hal untuk memperbaiki literasi digital.
Pertama, mengingat urgensi peningkatan literasi digital, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) harus berpikir ulang dalam menyusun kurikulum mata pelajaran TIK agar sesuai dengan tuntutan zaman.
Ada baiknya apabila konten pembelajaran TIK lebih memprioritaskan pengajaran dalam penggunaan dan menyampaikan informasi yang didapat secara daring dengan bertanggung jawab, mengidentifikasi informasi daring yang dapat dipercaya, dan cara mengamankan peserta didik selama aktivitas daring mereka.
"Kompetensi seperti ini akan sangat relevan dengan tuntutan era digital saat ini," papar dia.
Selanjutnya, materi literasi digital juga harus disertakan dalam pelatihan guru.
Tanpa meningkatkan kompetensi TIK yang rendah dan pedagogi berpikir kritis di antara para guru, mereka tidak akan dapat berperan dalam meningkatkan literasi digital siswa.
Keempat, kemitraan pemerintah dengan para ahli dari sektor swasta juga perlu diperkuat.
Para tenaga ahli eksternal ini dapat membantu pemerintah merumuskan indikator yang relevan untuk kurikulum literasi digital.
Terakhir, peningkatan akses dan teknologi Internet, terutama di daerah pedesaan di Indonesia, harus tetap menjadi prioritas pemerintah untuk mengatasi kesenjangan digital.
"Salah satunya lewat kemitraan dengan sektor swasta untuk melengkapi sekolah, terutama di pedesaan, dengan laptop atau komputer," jelas dia.
SUMBER: SUARA.COM
Writer : Ikbal Juliansyah