SUKABUMIUPDATE.com - Tanggal 30 September sampai 1 Oktober 1965, merupakan peristiwa G30SPKI yang masuk dalam Sejarah Indonesia yang kelam.
Peristiwa yang terjadi ketika tujuh Jendral Militer dan satu perwira Indonesia beserta beberapa orang lainnya terbunuh dalam suatu usaha kudeta.
Isu komunisme tersebut selalu jadi perbincangan menarik publik jelang hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober mendatang.
Redaksi sukabumiupdate, coba mengutip kembali tulisan panjang Irman “Sufi” Firmansyah Kepala Riset dan Kesejarahan Soekaboemi Heritages, sekaligus ketua Yayasan Dapuran Kipahare yang pernah dimuat media ini pada September tahun 2018 silam.
Baca Juga :
Ia membuat paparan panjang mengenai bagaimana kiprah dan jejak PKI di Sukabumi dari zaman Belanda hingga pasca pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965.
“Sukabumi menjadi bagian penting dari sejarah PKI di Indonesia. Bahkan menjadi basis yang cukup diperhitungkan sejak awal terbentuknya organisasi terlarang ini di masa kolonial Belanda hingga ditumpas pasca kejadian tahun 1965,” tulis Irman mengawali narasi panjangnya.
Ia membeberkan dengan baik, bagaimana awal PKI muncul di Indonesia dengan ‘membonceng’ gerakan Syarekat Islam (SI) tidak terlepas dari Sukabumi.
Sukabumi menjadi saksi jatuh bangunnya PKI, mulai dari gagal melawan Pemerintah Kolonial Belanda, kembali menyusun kekuatan pasca kemerdekaan, sempat ditumpas oleh pemerintahan Soekarno Hatta tahun 1948, kembangkitan kembali PKI lewat jalur politikpun pasca pemberontakan Madiun.
Menurut Irman, PKI saat itu masih diberi ruang oleh pemerintah dan menjadi partai peserta pemilu tahun 1955.
Di Jawa Barat sendiri posisinya ketiga, di Sukabumi mendapatkan posisi keempat dibawah PNI, Masyumi dan NU dengan jumlah suara 19.720.
DN Aidit dalam rapat besar dan ceramah pada tanggal 13 Agustus 1957 di Kota Sukabumi. Pasca dihapuskannya Undang-Undang Keadaan Bahaya, hingga tahun 1963 posisi PKI menjadi urutan kedua dari 3 besar di Sukabumi.
“Sukabumi sudah menjadi incaran PKI selain banyaknya organisasi buruh terutama perkebunan dan juga basis kuat buruh kereta api, Sukabumi juga punya sekolah polisi yang menjadi pion penting dalam menguasai kota,” tulis Irman.
Baca Juga :
Dari catatan Irman, Sejak Mei 1962 DN Aidit telah memberikan ceramah empat kali di Sukabumi.
Tanggal 24 Mei 1962 dihadapan Komandan Korps Polisi Security Kepolisian Komisariat Seluruh Indonesia, tanggal 18 September 1962 di depan para pengikut Kursus Persamaan Komisaris Polisi (Kursus B), tanggal 22 februari 1962 di hadapan para mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dan pada tanggal 6 Maret 1963 di depan Sekolah Kepolisian Sukabumi.
“Namun sikap masyarakat terhadap komunis mulai kurang menuai simpati karena gerakan berujung kericuhan. Peristiwa kerusuhan rasialis 10 Mei 1963 di Sukabumi sebagai rembetan Bandung dan beberapa daerah konon di latar belakangi persaingan ideologi dan dipicu kedekatan Bung Karno dengan RRC,” jelas Irman.
Namun Sukabumi tetap menjadi bagian program kaderisasi PKI. Buku Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa yang ditulis Aidit adalah hasil penelitiannya bersama tim terhadap para petani yang sebagian di Sukabumi.
Aidit yang juga Menteri/ Wakil Ketua MPRS/ Ketua CC PKI ini pada tanggal 2 Februari sampai tanggal 22 Maret 1964, melakukan penelitian untuk penyusunan buku tersebut di wilayah Nagrak dan Sagaranten Sukabumi.
“Aidit juga menjaga hubungan dengan para tokoh Islam Sukabumi seperti KH. Isa Anshary sebagai upaya pendekatan. Jika berkunjung ke Sukabumi Aidit biasanya menginap di rumah Isa dan tak jarang nongkrong bareng di Kota Sukabumi sambil makan sate padahal Isa adalah tokoh Front Anti Komunis,” ungkap Irman dalam tulisannya.
Selain Aidit tokoh penting PKI yang mengunjungi Sukabumi adalah Waperdam Subandrio. Ia pernah berorasi di cabang PKI Kota Sukabumi.
Menjelang tahun 1965 situasi di Sukabumi mengkhawatirkan, semua serba ketakutan dan tak jelas siapa lawan dan siapa kawan.
Menurut Irman, provokasi sering terjadi sering terjadi, sikap-sikap rusuh kaum komunis di pedesaan tidak jarang meletus. Kecurigaan yang mengarah pada pengkhianatan kaum komunis sebenarnya sudah tercium.
“Pada tanggal 24 Desember 1964, beberapa bulan sebelum pecahnya peristiwa G30SPKI sebenarnya sudah muncul dokumen yang ditemukan di Sukabumi mengenai rencana pemberontakan PKI, namun Aidit membantahnya dan menyatakan jika hal tersebut hanya bentuk provokasi untuk meracuni aparat negara,” beber Irman.
Dikutip oleh Irman dalam catatan Kerry B Collison, Sukabumi juga menjadi tempat pelatihan Gerwani yang cukup besar.
Disini para wanita berlatih dengan senjata tempur seperti pistol dan juga golok untuk berkelahi, bahkan menebas kepala dengan cepat.
“Sukabumi selatan menjadi tempat ideal PKI dalam melakukan persiapan. Para tokoh PKI menghembuskan isu bahwa setiap informasi tentang pengkhianatan komunis adalah Hoax. Padahal hal ini kemudian terbukti dalam mahmilub pasca kudeta. Salah satunya dengan ditemukannya surat-surat Sudisman (anggota CC PKI) beserta denah (Plattegrond) sekolah polisi Sukabumi dalam arsip SBKP (serikat buruh kementerian pertahanan) yang berisi beberapa petunjuk untuk menguasai Sekolah polisi,” ungkap Irman.
Sukabumi juga menjadi bagian dari skenario besar pemberontakan yang diatur Sjam Kamaruzaman. Jika pemberontakan gagal maka ada 3 basis pengunduran yaitu Sukabumi Selatan, Merapi Merbabu Complex dan Blitar Selatan.
Biro Khusus Sentral PKI telah menetapkan untuk mempersiapkan basis tersebut di Selatan Sukabumi, Jawa Barat.
“Sementara di Jakarta dimunculkan isu Dewan Jenderal yang akan melakukan makar terhadap pemerintah. Upaya ini dilakukan seolah untuk menutupi rencana besar PKI. Isu hoax pun akhirnya terbukti dengan pecahnya pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965 dengan dibunuhnya para Jendral,” tegasnya.
Situasi Sukabumi saat itu sambung Irman tidak ada gejolak apapun. Tanggal 30 september malam kota hanya sempat ada pemadaman, sementara di sekolah kepolisian sedang melakukan hiburan sesudah pelantikan siswi polwan di siang harinya.
“Seorang petinggi Polri pusat saat itu berada di Sukabumi, yaitu Sucipto Judodiharjo. Ia berangkat dari Jakarta pukul 10 malam. Keesokan harinya baru kehebohan terjadi sesudah ada berita dari radio tentang pemberontakan PKI. Jendral sucipto kemudian dipanggil Bung Karno dan terbang dengan helikopter dari Sukabumi ke Jakarta,” tulis Irman dalam narasi tersebut.
Kondisi mulai berbalik, seminggu kemudian pentolan serikat buruh ditangkap. Pada tanggal 15 Oktober 1965 pimpinan PKI Kota dan Kabupaten Sukabumi menyatakan tidak terlibat dalam pemberontakan di Jakarta kemudian PKI dan beberapa organisasi underbouw PKI di Sukabumi seperti SOBSI, SBPP, Pemuda Rakyat dan Gerwani dan lainnya beserta anak cabangnya menyatakan membubarkan diri.
Sayang hal tersebut tidak membendung terjadinya kemarahan masyarakat. Apalagi tanggal 31 Oktober 1965, 20 orang pentolan PKI yang dilatih di lubang buaya tertangkap di Sukabumi beserta beberapa dokumen yang menyebutkan rencana pemberontakan serta para tokohnya. Tak ayal kemudian banyak pentolan PKI di Sukabumi dihabisi, Diantaranya ketua Cisarua Baros dibunuh massa.
Sebuah organisasi lokal bernama Santjang Lumaku akhirnya membubarkan diri karena anggotanya banyak yang terlibat dalam kegiatan PKI. Dalam rangka gerakan pembersihan di Kota Sukabumi, kemudian dilancarkan razia di seluruh kota.
Situasi Sukabumi saat itu tidak kondusif dimana banyak terjadi aksi pembunuhan balas dendam maupun pencidukan oleh aparat terhadap orang yang ditengarai terlibat PKI.
“Mereka dikumpulkan di gedung juang dan di kantor-kantor desa, sebagian diadili, ada yang dilepaskan ada juga yang dieksekusi. Pangleseran termasuk tempat yang terbanyak penangkapan kader PKI. Bahkan konon sungai di Wangunreja sempat memerah karena dilakukan beberapa eksekusi disitu,” sambung Irman
Tempat lainnya sekitar perkebunan di Cikidang dan di Kalapanunggal. Ibrahim Adjie, Panglima Divisi Siliwangi waktu itu, meminta kepada Soeharto agar penanganan Jawa Barat diserahkan kepada Siliwangi dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) tidak perlu masuk.
Soeharto mengabulkan, Adjie menginstruksikan bahwa mereka yang dituding terlibat PKI itu ditangkapi saja,jangan dibunuh karena mereka kebanyakan cuma rakyat kecil biasa.
Akhirnya para anggota komunis itu dipekerjakan di beberapa tempat tanpa dibayar, salah satunya di pabrik genteng di Gunungguruh dekat Karang Para, “pabrik ini dijadikan tempat para tahanan politik yang kesalahannya ringan dan dipekerjakan oleh tentara.”
Menurut Irman, meskipun tidak kondusif tapi Sukabumi juga menjadi tempat persembunyian para tokoh PKI.
Mahrus Irsyan menyatakan bahwa Aidit sebelum lari ke Jawa sempat bersembunyi di Sukabumi.
Selain itu pentolan PKI yang tertangkap di Sukabumi adalah Sumiyarsih Caropeboka seorang dokter yang disebut dokter lubang buaya. Dia bersembunyi di wilayah utara sukabumi di rumah seorang mantri kesehatan.
Disitu juga berkumpul bekas mahasiswa, tentara dan mantan pejabat yang dipecat dan mengalami nasib sama dikejar-kejar pasukan TNI.
Pada tanggal 2 Mei 1967, ereka digerebek oleh sekelompok orang yang tergabung dalam operasi djaring AKRI bekerjasama dengan Komando Reserse (Komres) AKRI Sukabumi.
Sementara suaminya Sjarif Caropeboka berhasil kabur meskipun akhirnya tertangkap juga bersama seseorang berinisial ‘J’ di jalan Ciaul batas no K-111/RT.6/RK.3/Sukabumi di dalam sebuah kendaraan.
Pada akhirnya pemberontakan berhasil dipadamkan, gerakan PKI yang masih terus melakukan perlawanan diantaranya di Merapi Merbabu Complex dan terakhir berlangsung sampai tahun 1968 adalah di Blitar Selatan.
“Sukabumi sendiri tidak ada gerakan apapun karena masyarakat bersama-sama membantu aparat yang tergabung dalam AKRI memburu para kader komunis. Berakhirlah kisah kaum komunis, walaupun peristiwa ini juga menimbulkan banyak luka. Diluar apakah isu tersebut hoax atau bukan, kewaspadaan tetap diperlukan. Sejarah mencatat pola PKI yang melakukan infiltrasi untuk memecah belah bangsa, melakukan propaganda untuk membalikan fakta, menguasai media bahkan aparat,” tulis Irman.
“Kaum radikal ini selalu masuk dengan cara halus yaitu pemikiran dan ideologi, mereka akan sangat cair disaat lemah dan masuk ke semua lini masyarakat. Namun saat kuat, disitulah terlihat motif yang sebenarnya yaitu mengganti ideologi Pancasila dengan Ideologi lain. Bangsa ini sudah mengalami berbagai pengalaman manis dan pahit terkait kebhinekaan. Semuanya menjadi pelajaran yang bisa diambil hikmah. Sudah bukan saatnya lagi gontok-gontokan, tetapi bersatu menentang segala upaya yang bermaksud menghancurkan negeri dan mengganti ideologi yang sudah kita sepakati,” pungkasan.