SUKABUMIUPDATE.com - Harga minyak dunia anjlok lebih dari 5 persen ke level terendah delapan bulan pada akhir pekan lalu karena dolar AS mencapai level terkuatnya dalam lebih dari dua dekade.
Dikutip oleh Suara.com dari CNBC, Selasa (27/9/2022) minyak mentah berjangka Brent untuk kontrak pengiriman November, patokan internasional, ditutup merosot USD2,09, atau 2,4 persen menjadi USD84,06 per barel, jatuh di bawah level yang dicapai pada 14 Januari.
Baca Juga :
Sementara itu, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman November, melorot USD2,06, atau 2,3 persen menjadi USD76,71 per barel, terendah sejak 6 Januari.
Kedua kontrak melesat di awal sesi setelah jatuh sekitar 5 persen pada penutupan Jumat.
Indeks Dolar (Indeks DXY) mencapai level tertinggi dua dekade, menekan permintaan minyak yang dihargai dalam mata uang AS itu.
Dampak dolar yang kuat pada harga minyak paling menonjol dalam lebih dari setahun, data Refinitiv Eikon menunjukkan.
"Sulit bagi siapa pun untuk memperkirakan minyak akan pulih setelah greenback semahal ini," kata Bob Yawger, Direktur Mizuho.
Gangguan dari perang Rusia-Ukraina juga menghantam pasar minyak, dengan sanksi Uni Eropa yang melarang minyak mentah Rusia akan dimulai pada Desember bersama dengan rencana negara-negara G7 untuk membatasi harga minyak Rusia yang tampaknya akan memperketat pasokan.
Kenaikan suku bunga oleh bank sentral di banyak negara konsumen minyak menimbulkan kekhawatiran perlambatan ekonomi yang dapat menekan permintaan minyak.
"Dengan semakin banyak bank sentral dipaksa untuk mengambil langkah-langkah luar biasa tidak peduli dampaknya terhadap ekonomi, permintaan akan terpukul yang dapat membantu menyeimbangkan kembali pasar minyak," kata Craig Erlam, analis Oanda di London.
Perhatian beralih ke apa yang akan dilakukan Organisasi Negara Eksportir Minyak (OPEC) dan sekutu yang dipimpin Rusia, bersama-sama dikenal sebagai OPEC Plus, ketika mereka bertemu pada 5 Oktober, setelah sepakat pada pertemuan sebelumnya untuk memangkas produksi secara moderat.
Namun, OPEC Plus berproduksi jauh di bawah output yang ditargetkan, yang berarti pemotongan lebih lanjut mungkin tidak berdampak banyak pada pasokan.
"Kemungkinan akan muncul cukup tinggi untuk penyesuaian ke bawah dalam produksi oleh organisasi OPEC Plus," kata Jim Ritterbusch, Presiden Ritterbusch and Associates di Galena, Illinois.
Data pekan lalu menunjukkan OPEC Plus meleset dari targetnya sebesar 3,58 juta barel per hari pada Agustus, penurunan yang lebih besar ketimbang Juli.
Sebelumnya Sri Mulyani telah menjelaskan mengapa harga BBM di Indonesia naik padahal harga minyak dunia terus menurun.
Pemerintah mengkalkulasi harga minyak berdasarkan Indonesian Crude Price (ICP) US$ 90 per barel dengan kurs Rp 14.700 per dolar Amerika.
Meski terjadi fluktuasi harga minyak dunia, menurut Sri Mulyani, harga rata-rata ICP dalam satu tahun masih di angka US$ 98,8 atau hampir US$ 99.
"Jadi, kalaupun harga minyak dunia turun sampai di bawah US$ 90, maka keseluruhan tahun rata-rata ICP Indonesia masih pada US$ 97," ujarnya seperti mengutip dari Tempo.co.