SUKABUMIUPDATE.com - Bagi kaum muda saat ini, nama Dina Mara atau biasa dipanggil Mang Dina, mungkin kurang familiar. Namun, berbeda dengan mereka yang lahir di tahun 90-an ke bawah, Mang Dina menjadi salah satu sosok idola.
Pemilik nama asli Edi Suhaedi ini merupakan salah satu legenda di industri radio Sukabumi, khususnya mengenai cerita-cerita Sunda. Mang Dina saat ini memiliki dua orang putra dari pernikahannya dengan sang istri Eni Suhaeni.
Pria kelahiran Waluran, Kabupaten Sukabumi, 25 November 1953, ini selalu setia menemani pendengar radio sejak 1976 lewat cerita Sunda karangan Ki Leuksa dan K. Soekarna seperti Si Buncir, Si Kulup dan masih banyak lagi cerita yang Ia bacakan.
Usia mang Dina mungkin memang sudah tidak muda lagi, namun semangat menghibur untuk para penggemar setianya tidak pernah padam.
Bahkan sampai saat ini ia masih aktif membacakan cerita Sunda di radio SMS FM Sukabumi.
Tim Sukabumiupdate.com berkesempatan mengobrol ringan di sela-sela persiapannya siaran siang itu, Rabu, 29 Juni 2022.
Dengan senyuman hangatnya, Mang Dina menyambut kami dan menjawab setiap pertanyaan yang kami ajukan dengan penuh antusias.
Mang Dina mengungkapkan jika nama ‘Dina Mara’ didapatnya sejak awal berkecimpung di industri radio, karena pada saat itu setiap penyiar memiliki nama samaran atau nama panggung.
Sejak tahun 1976 itu pria yang memiliki suara berat ini telah menjadi penyiar di berbagai radio Sukabumi seperti Airlangga FM Sukabumi, Sena Radio, Radio RSPD Kota Sukabumi, El-Amigo, Fortuna FM hingga akhirnya bergabung dengan SMS FM sampai sekarang.
Hingga saat ini telah banyak cerita Sunda yang dibacakan Mang Dina untuk menghibur para pendengarnya
“Wah nggak terhitung ya karena banyak banget. Kalau untuk cerita yang paling berkesan, bagi saya sebagai pendongeng merasa semua cerita berkesan ya, tapi kalau menurut respon pendengar, cerita yang paling disukai itu cerita karangan Almarhum K. Soekarna dari Bandung seperti cerita dengan judul Denkalana”, Mang Dina menceritakan dengan antusias.
Ada dua pengarang cerita Sunda yang selama ini karangannya kerap dibawakan oleh pria yang kini tinggal di daerah Cipelang Leutik, Kota Sukabumi ini. Kedua pengarang itu yakni Ki Leuksa dan K. Soekarna.
Menurut Mang Dina, cerita dari dua pengarang ini memiliki jalan cerita yang menarik serta menggunakan bahasa sehari-sehari sehingga lebih mudah diterima oleh para pendengarnya.
Hingga saat ini sudah banyak sekali cerita Sunda yang telang mang Dina bawakan yang di dalamnya terdapat berbagai karakter baik perempuan maupun laki-laki.
“Saya tidak bisa menentukan saya punya suara berapa dan sebagainya, tergantung buku aja, di dalam buku itu ada berapa karakter ya saya ikutin. Kalau misal ada 10 karakter ya kita berusaha supaya suara-suara itu beda agar pendengar tidak bingung. Jadi, oh suara si ini begini, si itu begitu. kalau gak gitu orang bingung”, ungkapnya.
Untuk bisa membedakan setiap karakter dalam cerita tentu bukan perkara mudah, perlu konsentrasi tingkat tinggi dan kedisiplinan. Hal itu pula yang dilakukan Mang Dina setiap membacakan sebuah cerita.
Selain itu, harus ingat juga siapa yang memegang peranan dalam setiap cerita (red, karakter utama) dan itu yang jadi penting.
“kita harus benar-benar mengingat dan konsentrasi penuh saat membawakan sebuah cerita. Makanya setiap saya sedang membawakan cerita itu tidak bisa diganggu”, jelasnya.
Dan yang lebih luar biasanya, kemampuan berceritanya ini didapat secara otodidak, bahkan sampai menginspirasi orang lain mengikutinya.
Seperti kita tahu, jika industri radio dulu sangat luar biasa, para penyiar radio akan otomatis menjadi selebritis. Hal itu pula yang dialami Mang Dina kala itu.
Bahkan, dulu Ia kerap diundang ke acara hajatan untuk mengisi acara. Namun, cerita yang dibawakan bukan cerita seperti yang Mang dina bawakan di radio.
“Dongengnya itu bukan kaya gini, jadi semacam cerita riwayat, seperti riwayat para sahabat zaman Rasulullah. Jadi menyesuaikan dengan orang-orang di hajatan itu ya, karena tak mungkin di hajatan nyeritain dongeng seperti ini (sambil menunjuk buku karangan Ki Leuksa). Kalau bacain ini kita berepa hari baru beres, bahkan ada yang sampai berbulan-bulan baru selesai”, katanya.
Akan tetapi, seiring dengan perubahan zaman, maka generasi pun berubah yang diikuti pula dengan perubahan minat.
Serbuan teknologi yang membawa banyak perubahan sedikit demi sedikit telah mengikis eksistensi industri radio.
Jika dulu radio merupakan salah satu sumber hiburan utama masyarakat, berbeda dengan sekarang. Masyarakat lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia maya.
Kondisi tersebut disadari betul oleh Mang Dina dan kawan-kawannya. Alih-alih pasrah dengan keadaan, justru Mang Dina memilih beradaptasi agar tidak tergilas oleh kemajuan zaman.
Hal itu dibuktikan dengan dibuatnya channel YouTube @GS-Ki Leuksa dan @GS-K Soekarna yang khusus memuat cerita-cerita Sunda. Dengan begitu, pria yang kini berusia 69 tahun ini tetap bisa eksis dengan cerita-cerita Sunda karangan Ki Leuksa dan K. Soekarna.
Hal itu juga sebagai upaya untuk melestarikan budaya Sunda agar jangan sampai hilang diganti dengan budaya luar.
“Yaa begitulah ya apa yang nampak lah, akang sendiri mungkin melihat, seperti yang disebutkan tadi kaya budaya kesenian semacam Sandiwara, Reog, Uyeg dan semacamnya yang dulu ada di Sukabumi sekarang kan bisa dilihat sendiri seperti apa”, Ungkap Mang Dina.
Dengan hadirnya cerita Sunda di platform yang kekinian seperti YouTube menjadikan lebih banyak orang yang bisa dijangkau dan menikmati cerita Sunda yang penuh pesan moral didalamnya.