SUKABUMIUPDATE.com - Tidak hanya di Ujunggenteng dan Tegalbuleud, aksi penolakan larangan ekspor benur atau benih lobster juga dilakukan sejumlah nelayan di Cisolok, Kabupaten Sukabumi pada Ahad, 24 Oktober 2021. Mereka membentangkan spanduk penolakan di Dermaga Pajagan di Desa Cikahuripan, Kecamatan Cisolok.
Tuntutannya sama: menolak Permen KP Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) serta Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
"Itu supaya Menteri Kelautan dan Perikanan mencabut larangan untuk baby lobster (benur)," kata Kepala Desa Cikahuripan Heri Suryana. Mereka meminta penangkapan benur untuk ekspor kembali diizinkan.
Heri mengungkapkan aksi membentangkan spanduk dipilih karena di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM, rentan terkena masalah jika meggelar aksi unjuk rasa atau demonstrasi. "Dengan cara ini mereka menyampaikan aspirasinya ke Presiden Jokowi untuk memerintahkan Menteri KKP mencabut Permen larangan (ekspor) benur," ujarnya.
Selain mencabut dua peraturan tersebut, Heri berujar para nelayan juga berharap gugatan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra yang meminta Mahkamah Agung membatalkan aturan larangan ekspor benih lobster dikabulkan. "Minta Pak Yusril terus memperjuangkan hak nelayan," ungkap Heri.
Usai aksi membentangkan spanduk yang setidaknya diikuti 200 nelayan dari berbagai wilayah di Cisolok antara lain Cikahuripan, Pajagam, dan Pasirbaru, rencana ke depan juga akan dilakukan aksi pembuatan video.
Sebelumnya, ratusan nelayan Ujunggenteng dan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, membentangkan spanduk penolakan kebijakan larangan ekspor benur atau benih lobster serta jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak atau PNBP. Mereka menilai, kedua aturan itu merugikan dan menyulitkan nelayan.
Tentang Permen KP Nomor 17 Tahun 2021
Ada perbedaan regulasi benih lobster mulai era Susi Pudjiastuti, Edhy Prabowo, hingga Sakti Wahyu Trenggono. Pada zaman Susi Pudjiastuti, aktivitas tersebut dilarang untuk apa pun. Ketika Edy Prabowo menggantikan kursi Susi Pudjiastuti, aturan sebelumnya diganti menjadi Permen KP Nomor 12 2020. Dalam aturan ini, benih lobster bukan hanya boleh ditangkap, tetapi juga bisa diekspor.
Namun, Edy tersandung kasus korupsi dan digantikan Sakti Wahyu Trenggono. Wahyu mengganti regulasi tersebut menjadi Permen KP Nomor 17 Tahun 2021. Di dalam regulasi ini benih lobster boleh ditangkap, namun kembali kembali melarang untuk diekspor. Benih lobster masih dibolehkan ditangkap untuk kepentingan riset dan budi daya dalam negeri.
Kuota penangkapan benur ditetapkan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan. Kemudian, alat penangkap yang boleh digunakan bersifat pasif, tidak boleh aktif. Yang boleh menangkap pun hanya nelayan kecil yang terdaftar dan berizin di dinas kelautan dan perikanan dengan kapal tidak di atas 5 GT.
Tentang Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021
Aturan ini sebelumnya telah dikritik Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera atau F-PKS, Drh Slamet. Ia tegas menolak Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 dan meminta Presiden Joko Widodo membatalkan peraturan tersebut. Tujuan dikeluarkannya PP ini adalah untuk memaksimalisasi potensi PNBP di bidang perikanan tangkap yang selama ini kontribusinya dianggap masih sangat kecil.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dibagikan Slamet, nilai produksi perikanan tangkap tahun 2020 berkisar Rp 224 triliun. Sedangkan, empat tahun sebelumnya masing-masing Rp 219 triliun (2019), Rp 210 triliun (2018), Rp 197 triliun (2017), dan Rp 122 triliun (2016). Realisasi PNBP pada tahun-tahun tersebut tidak mencapai 1 persen dari nilai produksi perikanan per tahunnya.
Secara berturut-turut, Slamet yang juga Ketua Umum Perhimpunan Petani Dan Nelayan Seluruh Indonesia atau PPNSI mengatakan, PNBP perikanan tahun 2020 sebesar Rp 600,4 miliar yang merupakan realisasi PNBP tertinggi sejak 2016. Dengan rincian, Rp 521 miliar (2019), Rp 448 miliar (2018), Rp 491 miliar (2017), dan Rp 357 miliar (2016).
Kebijakan PNBP tersebut mendapat respons beragam dari masyarakat khususnya nelayan. Para nelayan beranggapan kebijakan itu akan mengerek pungutan yang harus mereka keluarkan. Tidak tanggung-tanggung nilai kenaikannya hingga berkali lipat.
Slamet yang juga legislator asal Sukbumi ini mengatakan, KKP perlu lebih berhati-hati menerapkan pungutan PNBP. Pasalnya, kenaikan target PNBP dipastikan akan menekan pendapatan nelayan kecil.