SUKABUMIUPDATE.COM - Lima belas tahun sudah, Ibu Komin (64 tahun) tinggal di rumah atau gubuk tak layak huni di tengah lembah sungapan, Kampung Kebon Hiji, Desa Girijaya, Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Komin tinggal di rumah berukuran 5x5 meter tersebut bersama dua anaknya Sanung (21 tahun) dan Mislud (16 tahun). Karena keterbatasan ekonomi, keduanya tidak mampu mengenyam bangku pendidikan.
Udara dingin dirasakan hampir setiap malam, terlebih setelah hujan. Bagaimana tidak, rumah yang lebih mirip gubuk tersebut hanya terbuat dari bambu kemudian atapnya dilapisi plastik dan terpal bekas.
Tanah pun menjadi lantainya. Tak ada ruangan khusus, semua dalam satu ruangan yang sama, tempat tidur, dapur tungku yang digunakan untuk memasak, hingga kandang ayam dan kelinci, semua menyatu.
Tak ada jaringan listrik atau penerangan lainnya, sehingga setiap malam dilalui keluarga tidak mampu itu mengandalkan lampu pelita.
Gubuk yang mereka bangunpun berdiri di lahan terbengkalai milik Perhutani, yang hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki dan memiliki jarak 3 Kilometer dari pemukiman warga.
Selepas ditinggal wafat oleh Suaminya 5 tahun lalu, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Komin mengandalkan putranya Sanung yang bekerja serabutan sebagai kuli cangkul dan bangunan. Sesekali, Komin pun turut membantu menjadi buruh tani. Sedangkan si bungsu Mislud, hanya bisa membantu mencari kayu bakar di hutan sekitar rumah.
Dari hasil buruh tani, Komin biasanya mendapatkan upah sebesar Rp40 ribu di setiap hasil panen, sedangkan Sanung mendapatkan upah paling besar Rp80 ribu, itupun tak setiap hari. Dengan penghasilan segini, jangankan untuk membangun rumah layak, untuk memenuhi kebutuhan pangan harian saja, mereka tertatih-tatih.
"40 ribu teh dianggo meser beas sareung balanja ge seep, teu ceukap (40 ribu itu dipakai buat beli beras dan belanja juga habis, tidak cukup)," ujar Komin kepada Sukabumiupdate.com, Rabu (11/8/2021).
Tak ada bantuan pembangunan rumah layak huni baginya. Bahkan bantuan lainnya seperti PKH untuk keluarga pra sejahtera juga tak didapatnya.
"Teu aya. Saukur enggal sasih beas 10 kilo ti desa, acis-acis mah teu aya (Tidak ada. Hanya setiap bulannya beras 10 kilogram dari Desa, yang berbentuk uang tidak ada)," ungkapnya.
Meskipun begitu, mereka tetap bersyukur karena selama ini masih bisa makan dan mencari nafkah, namun rasa khawatir yang besar menyelimuti kehidupan mereka selama ini, khawatir jika sewaktu-waktu rumah tersebut rubuh atau mungkin lahannya akan dipakai oleh pemiliknya. Sehingga ia pun berkeinginan untuk bisa pindah tempat tinggal.
"Hoyong ngalih mah iyeu teh, hoyong, ngan nyaeta ku teu gaduh tea, lamun gaduh mah hoyong ngalih ka lembur (ingin pindah, cuman karena tidak punya (uang), kalau punya ingin pindah ke kampung)," ungkap Komin yang lahir di kampung Bojongkawung itu.
Selain Sanung dan Mislud, Komin sebenarnya mempunyai 4 anak lainnya. Namun mereka bertempat tinggal jauh, dan sudah sibuk dengan beban rumah tangga masing-masing.