SUKABUMIUPDATE.com - Berburu baju lebaran telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri. Kebiasaan ini juga berlaku di Sukabumi. Meski masih situasi pandemi, namun antusias warga untuk belanja kebutuhan sandang ini sulit dihindari.
Pada momen Idul Fitri, masyarakat Sukabumi lazimnya membeli baju baru yang sering disebut baju lebaran atau baju dulag. Tradisi ini tidak terlepas dari kebiasaan dahulu saat masuknya Islam ke tatar Sunda dengan pesat pada masa kerajaan Banten dan Mataram.
Baju Lebaran Era Belanda
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan pada abad 15 dan 16, dua kekuatan kerajaan pasca-Padjadjaran berebut pengaruh di Sukabumi melalui klaim penguasaan yang disebut presentasi, tak terkecuali pemerintahnya. Para pendakwah dari Banten dan Mataram juga banyak yang memasuki wilayah Sukabumi, bahkan menetap hingga akhir hayat.
"Itu terbukti dengan banyaknya makam-makam pendakwah Islam di Sukabumi yang berasal dari Banten dan Mataram," kata Irman kepada sukabumiupdate.com, Rabu, 5 Mei 2021.
Irman yang juga penulis buku Soekaboemi the Untold Story menyebut salah satu pengaruh Islam yang menjadi budaya adalah perayaan Idul Fitri (lebaran) dengan cara membeli baju baru. Seperti di Banten dan Mataram, kata Irman, budaya tersebut juga terjadi di Sukabumi, di mana masyarakat berbondong-bondong membeli baju lebaran.
"Sementara masyarakat yang kurang berada menjahit sendiri, karena sejak dulu masyarakat Sunda, terutama kaum perempuan, bisa melakukan banyak hal termasuk menjahit," ujarnya.
Budaya ini terus berlangsung hingga ketika Sukabumi dikuasai Belanda. Di masa Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC, sambung Irman, orang Belanda keliru menyebut Idul Fitri sebagai Mohammedans Nieuw Jaar (tahun baru kaum Muhammad/Islam) karena keramaiannya mirip tahun baru di Eropa.
Selain di Islam, tradisi membeli baju baru juga dilakukan penganut agama lain saat itu seperti saat Natal dan Imlek, seolah kebiasaan tersebut umum saat perayaan keagamaan maupun perayaan nasional.
"Orang Belanda lambat laun bisa membedakan Idul Fitri dan tahun baru, sehingga penyebutannya dengan lebaran seperti yang biasa diucapkan masyarakat," kata Irman yang kini aktif sebagai Kepala Riset dan Kesejarahan Soekaboemi Heritages.
Irman menjelaskan Christiaan Snouck Hurgronje yang pernah mengunjungi Sukabumi pada 16 Juli 1889, dalam suratnya untuk Direktur Pemerintahan Dalam Negeri menyebutkan bahwa perayaan lebaran pasti disertai hidangan khusus, saling mengunjungi, hiburan yang menggembirakan, dan membeli pakaian baru.
"Soal baju ini merupakan kebiasaan lokal yang juga direkam oleh kawan karibnya yaitu Moehamad Moesa dalam kisah rakyat yang ditulisnya berupa buku berjudul Dongeng Pientengen, "ari maneh make badjoe ges boeroek, lamoen tatjan nepi ka oesoem lebaran dei, mowal wara dipangnjijenken dei badjoe-takwa ! (Kamu memakai baju jelek, jika belum sampai ke lebaran lagi maka tidak akan dibuatkan baju takwa)."
Selain Musa, lanjut Irman, pada 1933 penulis Belanda bernama J Kats juga menyebutkan hal yang hampir sama dalam Spraakkunst en Taaleigen van het Soendaasch: "Dina waktoe lebaran biasa pisan baroedak mah sok pagin.din-ginding, paaloe-aloes badjoe atawa samping".
Bahkan Franciscus Maria Gescher dalam Indie: Schetsen over onze kolonien in Oost-Indie menyebut istilah baju baru yang disiapkan untuk lebaran (Voor lebaran om schoone sarongs, nieuwe badjoes, een kabajaspeld en nog veel meer te koopen).
"Kebiasaan membeli baju lebaran juga pada akhirnya menjadikan masyarakat melakukan persiapan. Bagi para petani tentunya hasil penjualan pertanian disimpan sebagian untuk membeli baju lebaran atau membeli bahan dan dijahitnya sendiri," katanya.
Sementara bagi para karyawan, biasanya meminta uang muka gaji agar bisa membeli keperluan, termasuk baju baru menjelang Idul Fitri.
Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka karyawan ada yang memilih mogok bekerja, salah satunya pemogokan di pabrik tenun di Sukabumi pada November 1929. Itu diberitakan Bataviaasch Nieuwsblaad yang menceritakan 50 penenun mogok kerja karena uang muka gaji menjelang lebaran ditolak dibayarkan oleh pemilik perusahaan.
"Kebiasaan memakai baju lebaran ini juga tetap menjadi perhatian khusus meski pada zaman peperangan pada masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan," kata Irman.
"Ketika pasukan United Nations Relief and Rehabilitation Administration atau UNRRA berada di Sukabumi sekitar lebaran September 1947, mereka membagikan pakaian baru untuk menarik simpati karena melihat pakaian orang-orang terutama anak-anak yang compang-camping akibat perang," sebutnya.
Kebiasaan membeli baju lebaran terus berlangsung di masa kemerdekaan, apalagi sejak diaturnya tunjangan hari raya bagi pegawai negeri pada 1964 dan untuk swasta lima tahun kemudian. "Maka membeli baju lebaran seolah menjadi tradisi wajib yang disisihkan dari tunjangan hari raya maupun sisa usaha," ujar Irman mengakhiri penjelasannya.
Perlukah Baju Lebaran di Tengah Pandemi?
Tradisi berburu baju lebaran tampaknya sulit dihilangkan, meski dalam situasi pandemi. Publik Sukabumi dalam dua kali momen Idul Fitri di tengah wabah Virus Corona (2020 dan 2021) selalu dikejutkan dengan adanya sebagian warga yang berbondong-bondong mendatangi pusat perbelanjaan, baik itu pasar tradisional maupun pasar modern untuk membeli keperluan Idul Fitri, salah satunya baju lebaran. Secara ekonomi, semakin banyaknya konsumsi, maka akan semakin baik untuk pertumbuhan ekonomi.
Kepala Program Studi Manajemen Fakultas Bisnis dan Humaniora Universitas Nusa Putra Sukabumi Yusuf Iskandar mengatakan pada kuartal dua tahun ini memang diharapkan adanya pertumbuhan ekonomi yang signifikan, yang salah satunya didorong konsumsi masyarakat terutama pada momen lebaran seperti ini.
"Konsumsi yang meningkat akan menjadikan produksi juga meningkat, sehingga keberadaan uang akan terdistribusi dan meningkatkan transaksi jual beli. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi," kata Yusuf.
Pemerintah Indonesia, kata Yusuf, bahkan menyiapkan beberapa program seperti subsidi ongkos kirim agar belanja secara dalam jaringan atau online tetap meningkat. Hal itu sebagai antisipasi dari tidak dapat dilaksanakannya mudik pada tahun ini.
"Ini akan sangat baik bagi perekonomian regional maupun nasional, mengingat tren pertumbuhan Indonesia semakin positif dari waktu ke waktu," katanya. "Pemerintah ingin tetap menjaga kondisi ini dan bahkan berusaha untuk meningkatkan secara signifikan pertumbuhan ekonomi nasional."
Sementara di sisi lain, Yusuf juga tidak memungkiri bahwa fenomena tersebut memberi dampak negatif bagi aspek kesehatan, termasuk di Kota dan Kabupaten Sukabumi. Pasalnya, tidak sedikit masyarakat yang berburu baju lebaran, namun mengabaikan protokol kesehatan dengan berkerumun secara tidak terkendali.
"Hal ini dapat diminimalisasi dengan diturunkannya petugas Covid-19 untuk menggalakkan protokol kesehatan dan menindak warga yang abai terhadap protokol kesehatan," ujarnya.
Selain itu, perlu juga dilakukan imbauan kepada pemilik toko untuk menerapkan protokol kesehatan atau bisa pula dengan menambah jam operasional agar kedatangan warga untuk berbelanja dapat terdistribusi dengan lebih baik. "Sebetulnya fenomena belanja ini tidak hanya terjadi pada pakaian saja, namun juga keperluan lainnya seperti bahan makanan, bahkan pada sisi transportasi," terang Yusuf.
Yusuf menyebut perlu ada kebijakan atau program yang bersifat meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan. Sebab, momen berbelanja ini tidak dapat dihentikan begitu saja sebab dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional maupun nasional.
"Namun jangan sampai mengabaikan protokol kesehatan. Kita harus terbiasa berjalan di antara dua sisi ini, agar aspek kesehatan terkendali dan ekonomi juga stabil," jelasnya.
Baca Juga :
Menebak Alasan Orang Berburu Baju Lebaran
Joko Kristiyanto selaku konsultan psikologi dari Sukabumi melihat baju lebaran yang digunakan saat Hari Raya Idul Fitri telah menjadi tradisi bahkan budaya di sejumlah bangsa, bukan hanya Indonesia. Termasuk umat beragama lain yang kerap mengenakan pakaian baru ketika menyambut hari rayanya.
"Itu normal dan wajar. Jangankan hari raya, kita akan menghadapi kegiatan apa saja pasti ada yang menyangkut tentang pakaian yang akan dikenakan, seperti saat reuni, tamasya, rapat, upacara, hajatan, dan lain-lain," kata pria yang juga pernah menempuh pendidikan psikologi di Universitas Indonesia, Universitas Erasmus Rotterdam Belanda, dan Universitas Auckland Selandia Baru.
Kendati begitu, sambung Joko, nilai penting ketika menghadapi hari raya adalah mengenakan pakaian terbaik. Artinya tidak ada aturan main pakaian tersebut harus bersifat baru. "Karena akhirnya pakaian baru baju lebaran semacam menjadi sebuah keharusan. Sejak kapan hal ini terjadi saya tidak tahu," ujarnya.
Joko menilai tradisi membeli baju lebaran untuk Hari Raya Idul Fitri juga banyak dipengaruhi lingkungan, ekonomi, dan sosio-kultural. Sebab, banyak pula masyarakat yang ternyata hanya memiliki kesempatan untuk membeli baju lebaran itu setahun sekali. "Bisa jadi seandainya tidak ada lebaran, tidak akan pernah ada momen untuk "memaksakan" membeli baju baru," katanya.
Tradisi ini kemudian diikuti dengan pola manajemen keuangan yang mengambil momen pembagian bonus, keuntungan, atau apresiasi dilakukan menjelang lebaran atau biasa disebut tunjangan hari raya alias THR. Tanpa disadari, pola ini berlaku secara masif ke semua lapisan masyarakat Indonesia.
"Kalau gak ada baju lebaran terasa ada yang kurang pas. Termasuk dalam situasi Pandemi Covid-19, karena telah menjadi budaya. Banyak masyarakat yang mengabaikan situasi yang terjadi saat ini dan mendatangi pusat perbelanjaan dengan tidak menerapkan protokol kesehatan," kata Joko. "Jadi bukan masalah membeli baju lebarannya, namun menuju ke tempat penjualan tersebut."
Joko menekankan yang menjadi inti dari persoalan ini adalah bagaimana masyarakat bisa menyesuaikan pemenuhan kebutuhan lebaran mereka di masa new normal. Misal, menghindari kerumunan dalam waktu yang sama saat berbelanja atau memanfaatkan media online.
"Sehingga pemenuhan kebutuhan momen lebaran ini, termasuk membeli baju lebaran menjadi faktor pemicu penyebaran Covid-19," ucapnya.
Di Kota Sukabumi, menjelang Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriah atau 2021 ribuan warga terlihat semakin memadati beberapa pusat perbelanjaan. Beberapa bahkan mengaku hendak berburu baju lebaran.
Seperti yang dilakukan Alda Nurfajiah (16 tahun) warga Bhayangkara, Kota Sukabumi. Ia mengaku sedang mencari baju untuk dipakai di hari raya. Menurutnya, hal itu sudah menjadi tradisi.
"Saya datang ke pusat kota untuk mencari pakaian buat dipakai di hari lebaran nanti. Dan mungkin hampir semua yang datang ke kota sama tujuannya mencari baju lebaran," ujarnya saat diwawancarai sukabumiupdate.com, Rabu, 5 Mei 2021.
Alda menjelaskan saat ia hendak masuk ke Citimall Sukabumi, di pintu masuk telah diterapkan protokol kesehatan. Di beberapa titik Jalan Ahmad Yani juga ia melihat beberapa aparat kepolisian mensosialisasikan protokol kesehatan.
Sementara Silvi (19 tahun), karyawan Ria Busana di Jalan Ahmad Yani menjelaskan dari awal bulan Ramadhan acap kali terlihat ramai pengunjung antara Sabtu dan Minggu. "Kalau hari-hari biasa, sih, enggak terlalu ramai. Tetapi di hari Sabtu dan Minggu toko selalu dipadati pengunjung. Untuk prokesnya kita selalu imbau agar pengunjung menggunakan masker dan jaga jarak," ungkapnya.