Sejarah Mudik di Sukabumi: Masyhur Zaman Belanda, Kini Hilang karena Corona

Senin 03 Mei 2021, 13:02 WIB

SUKABUMIUPDATE.com - Keputusan pemerintah meniadakan mudik lebaran Idul Fitri 1442 Hijriah menuai polemik. Kebijakan tersebut mendapat penolakan dari sejumlah masyarakat. Namun memutus penyebaran Covid-19 atau Virus Corona, menjadi dalih ditetapkannya keputusan itu. Di Sukabumi sendiri mudik bukanlah fenomena baru.

Sejak dahulu, Sukabumi memiliki diaspora yang relatif banyak di luar kota, provinsi, bahkan luar negeri. Situasi tersebut menyebabkan mudik menjadi fenomena sosio-kultural sekaligus semacam ritual wajib bagi warga Sukabumi di perantauan.

Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan pada masa kolonial, ada ungkapan berbahasa Belanda yang berbunyi "Wees voor zichtig met Soekaboemi, Wnt An Klaene A Komtvan Soekaboemi, wordt angrote A in Bandoeng. Artinya, kata Irman, hati-hati dengan Sukabumi, sebab A kecil yang datang dari Sukabumi bisa menjadi A besar di Bandung.

"Ungkapan orang-orang Belanda itu menunjukkan bahwa orang Sukabumi yang merantau ke kota besar seperti Bandung, Batavia, dan lain-lain, rata-rata berhasil dan harus diwaspadai," kata Irman kepada sukabumiupdate.com, Senin, 3 Mei 2021.

Irman yang juga penulis buku Soekaboemi the Untold Story menuturkan orang-orang Belanda menyebut Sukabumi sebagai Nizza Van Java, dikonotasikan dengan salah satu kota di Prancis yang terkenal dengan produksi anggurnya.

"Seolah Sukabumi memabukkan dan bikin mabuk kepayang, sehingga orang senang kembali ke Sukabumi," ujar Irman yang kini aktif sebagai Kepala Riset dan Kesejarahan Soekaboemi Heritages. Kota Sukabumi sering pula disebut sebagai kota pensiunan alias kota tempat kembali di masa tua.

Fenomena mudik semakin marak pada tahun 1970-an. Ini disebabkan gencarnya pembangunan di wilayah perkotaan pada masa awal pemerintahan orde baru. Pembangunan tersebut memunculkan industri padat karya yang memerlukan karyawan dalam jumlah banyak.

Irman berujar saat itu orang-orang desa banyak yang bekerja di kota. Sementara warga kota juga banyak yang mengadu nasib di kota yang lebih besar, bahkan hingga ke ibu kota. Kondisi tersebut mengakibatkan banyaknya warga yang merantau ke kota lain seperti Bandung dan Jakarta.

"Sementara sebagian yang bekerja di sektor formal juga terkadang ditempatkan di luar provinsi. Mereka ada yang mengontrak rumah atau indekos, bahkan ada yang kemudian tinggal dan menikah di perantauan," katanya.

Situasi seperti itu kerap menimbulkan suasana rindu ke kampung halaman dan memicu hasrat untuk pulang kampung. Waktu yang tepat untuk pulang kampung atau mudik adalah saat hari raya keagamaan seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Idul Fitri seolah menjadi waktu wajib untuk pulang kampung, di mana warga perantauan bisa melepas rindu dengan sanak saudaranya.

"Bahkan tak jarang menjadi ajang memamerkan kesuksesannya di perantaun. Kebiasaan unik saat hari raya di lembur adalah nguyang, yaitu kebiasaan memberikan sesuatu (biasanya palawija) dengan ungkapan basa basi hatur lumayan," ujar Irman. "Sebagai balasan, si penerima juga memberikan sesuatu yang nilainya lebih besar. Kebiasaan saling berkirim ini masih dilanjutkan di beberapa tempat di Sukabumi."

Irman mengatakan kebiasaan tersebut sedikit berbeda dengan fenomena mudik di masa kerajaan Padjadjaran, misalnya. Sebab, ketika perayaan hari keagamaan saat itu, orang-orang Sukabumi justru yang berbondong-bondong ke Pakuan (Bogor) untuk mengikuti ritual hari raya keagamaan.

Menurut keterangan beberapa penduduk di Cibadak dan Ubrug, sambung Irman, Cicatih adalah jalur para para peziarah dari Muara Ratu (Palabuhanratu) ke Pakuan.

Mereka ngabugbrug (berkumpul) di sekitar Ubrug sekarang, sebagai jalur transit, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Pakuan. "Sesudah mengikuti kegiatan ritual di Pakuan kemudian para peziarah itu pulang kampung ke desa-desa di Sukabumi," ujarnya.

Ada istilah bengkung ngariung bengkok ngaronyok yang menunjukkan kekeluargaan yang kuat pada masyarakat Sunda, termasuk Sukabumi.

Hal itu merepresentasikan keterikatan yang kuat dengan tanah kelahirannya tanah tumpah darahnya. "Maka tak heran ke mana pun mencari nafkah, orang Sunda tetap mempunyai keinginan untuk dikuburkan di tanah sendiri. Ibarat filosofi hidup, di mana suatu saat pasti akan mencari jalan pulang untuk kembali kepada Yang Maha Kuasa," jelasnya.

photoSejumlah orang sedang mudik - (Istimewa via CNN)

Larangan Mudik dan Rindu yang Tak Terbalaskan

Tahun ini pemerintah resmi menetapkan kebijakan pengetatan dan peniadaan mudik lebaran Idul Fitri 2021. Aturan ini berlaku mulai 22 April hingga 24 Mei. Ketentuan tersebut dibagi dalam tiga tahap: pra-mudik, mudik, dan pasca-mudik.

Tahap pertama alias pra-mudik ini berlaku mulai 22 April hingga 5 Mei 2021 (pengetatan pertama). Di periode tersebut semua orang masih bisa tetap mudik ke kampung halaman. Namun ada sejumlah persyaratan yang harus dibawa seperti hasil negatif polymerase chain reaction alias PCR atau rapid test antigen maksimal 24 jam. Bisa pula hasil negatif Genose C-19 sebelum keberangkatan.

Dalam tahap kedua alias peniadaan mudik, yakni periode 6 hingga 17 Mei 2021, masyarakat sama sekali tidak boleh mudik ke kampung halaman. Tetapi ada beberapa yang dikecualikan seperti keperluan dinas, kunjungan keluarga sakit atau meninggal dunia, dan ibu hamil atau kepentingan persalinan.

Meski sebagian orang tersebut masih bisa mudik, namun dokumen yang harus mereka bawa lebih ketat. Contohnya, mereka harus negatif tes reverse-transcriptase polymerase chain reaction alias RT-PCR atau rapid test antigen maksimal 2 x 24 jam. Sementara hasil negatif Genose C-19 cukup dibawa sebelum keberangkatan.

Tahap ketiga alias pasca-mudik, periode 18 hingga 24 Mei 2021 (pengetatan kedua), masyarakat bisa kembali mudik karena tidak ada pengecualian lagi. Syarat dokumen kesehatannya pun sama dengan pengetatan pertama. Dokumennya yaitu hasil negatif tes PCR atau rapid test antigen maksimal 1 x 24 jam. Termasuk hasil negatif tes Genose C-19.

Jika menilik sejarah Indonesia, sebenarnya umat Islam negeri ini tidaklah selalu bisa mudik ke kampung halamannya, seperti tahun ini. Salah satunya pada masa awal pasca-kemerdekaan, di mana ketika itu Muslim Indonesia merayakan Idul Fitri yang jatuh pada Rabu, 28 Agustus 1946.

Saat itu mudik telah menjadi tradisi meski belum segencar dekade 1970-an ketika urbanisasi besar-besaran mulai terjadi di Indonesia. Pada 1946 itu, beberapa kota di Indonesia telah cukup besar dan menarik banyak orang, terutama pelajar, pedagang, dan pencari kerja dari luar kota bahkan luar pulau Jawa.

Dikutip dari Historia, Suasana politik di Indonesia sedang tidak stabil karena menghadapi banyak kesulitan. Belanda dan Inggris menguasai kota-kota penting di Jawa. Di beberapa tempat, perayaan hari ulang tahun pertama kemerdekaan Indonesia yang berlangsung sebelas hari sebelum lebaran tahun 1946 pun dilakukan sangat sederhana.

Keretakan juga sedang terjadi di tubuh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Hal itu tampak dalam krisis politik 3 Juli 1946 di Yogyakarta saat kelompok oposisi yang berafiliasi dengan Tan Malaka melancarkan percobaan kudeta terhadap pemerintahan Perdana Menteri Sjahrir dan adanya Konferensi Malino (16-25 Juli 1946) yang diselenggarakan Belanda untuk menarik dukungan para raja lokal di Indonesia Timur.

Terdapat berbagai situasi yang menyebabkan mudik lebaran tidak bisa dilakukan masyarakat Indonesia pada saat itu. Pertama, kontak senjata pejuang Republik dengan Belanda masih terus berlangsung di berbagai tempat di Indonesia, bahkan pada hari raya Idul Fitri 1946.

Kantor berita Antara pada 30 Agustus 1946 menurunkan berita bertajuk 'Pertempoeran pada hari Lebaran', menyampaikan 'Bertepatan dengan hari Raja Idoel Fitri pada tg. 28/8 barisan rakjat memberi poekoelan pada pasoekan2 Nica didesa Tjibeber sehingga mereka terpaksa moendoer'.

Dari laporan itu diketahui bahwa pertempuran tidak hanya pecah di Cibeber (Bogor), namun juga di tempat-tempat lainnya. Itu mengindikasikan bahwa kontak senjata melawan Belanda pada hari lebaran bukanlah sesuatu yang jarang terjadi. Artinya ada sebagian umat Islam yang terhalang mudik akibat pertempuran.

Cerita sedih semacam itu terjadi juga di Padang, kota terbesar di Sumatera Barat. Memang Padang bukan kawasan inti masyarakat tradisional Minangkabau. Padang lebih dikenal sebagai rantau (yang berbeda dengan wilayah darek di pedalaman), yang lebih mencirikan sebuah kota tujuan perantauan untuk alasan ekonomi dan pendidikan bagi orang-orang dari kawasan pegunungan di Minangkabau.

Pada Idul Fitri 1946 orang Minangkabau di Padang tidak bisa berlebaran di kampung halamannya. Pertempuran antara pejuang Republik dengan pasukan Inggris dan Netherlands-Indies Civiele Administration atau NICA pada dini hari atau beberapa jam sebelum salat Idul Fitri di kota itu membuat banyak warganya tidak bisa mudik dan berlebaran.

Kementerian Penerangan dalam buku Republik Indonesia: Provinsi Sumatera Tengah (1959: 136), menyebutkan pada dini hari itu Padang telah menjadi 'lautan api' akibat kebakaran dan pertempuran di berbagai sisi kota.

Ketegangan berlangsung hingga pagi harinya. Koran Kedaulatan Rakjat yang tempat terbitnya berjarak ribuan kilometer dari Padang menjadikan berita pertempuran di Padang ini sebagai headline-nya pada 31 Agustus 1946. 'Idoelfitri di Padang dirajakan dengan tjara jang istimewa oleh pemoeda2 Padang dan barisan rakjat di sekeliling kota terseboet,' tulis Kedaulatan Rakjat.

Selain pertempuran, masih ada problem lain yang menyulitkan orang mudik saat itu: transportasi. Pesawat masih jauh dari umum dan terjangkau; lagipula, di bulan-bulan awal pasca-merdeka, pemerintah Republik hanya memiliki pesawat-pesawat latih kecil yang mereka ambil alih dari Jepang.

Kendaraan roda empat masih barang mewah. Lebih buruk lagi, mobil-mobil peninggalan masa Jepang yang tersedia mengalami kekurangan onderdil.

Infrastruktur seperti jembatan dan rel kereta berada dalam kondisi buruk, sebagian sengaja dihancurkan pasukan Belanda guna mencegah pergerakan Jepang di awal perang. Sementara yang lainnya rusak lantaran aksi-aksi sabotase pada masa revolusi.

Jawatan kereta api sebenarnya menyediakan apa yang mereka sebut sebagai 'Kereta Lebaran' dengan menambah beberapa perjalanan kereta api. Ini tampak dalam sebuah daftar perjalanan kereta yang dipublikasikan di Kedaulatan Rakjat sehari sebelum Lebaran tahun 1946 itu.

Tetapi itu hanya antarkota di dalam provinsi Jawa Tengah saja dan itu pun di daerah dengan kekuatan Republik yang dominan, misalnya Solo, Magelang, Ambarawa, Kutoarjo, dan Yogyakarta. Sedangkan kereta lebaran dari maupun ke Jakarta yang diduduki Belanda dan sekutu tidak tersedia.

Follow Berita Sukabumi Update di Google News
Berita Terkini
Motor25 April 2024, 11:00 WIB

8 Dampak yang Terjadi Apabila Motor Jarang Dipanaskan, Yuk Kenali!

Jarang memanaskan motor dapat menimbulkan beberapa dampak negatif.
Jarang memanaskan motor  dapat menimbulkan beberapa dampak negatif. | (Sumber : Freepik.com/@ pressfoto)
Keuangan25 April 2024, 08:21 WIB

Daftar Lengkap 537 Pinjol Ilegal Terbaru yang Diblokir Satgas Pasti

Satgas Pasti mengimbau masyarakat untuk selalu waspada dan berhati-hati.
(Foto Ilustrasi) Satgas Pasti memblokir 537 entitas pinjol ilegal di sejumlah situs dan aplikasi. | Foto: Istimewa
Sehat25 April 2024, 08:00 WIB

10 Rekomendasi Asupan Sehat untuk Mengatasi Serangan Asam Urat

Berikut Rekomendasi Asupan Sehat untuk Mengatasi Serangan Asam Urat. Yuk Coba Konsumsi!
Ilustrasi. Minyak Zaitun. Rekomendasi Asupan Sehat untuk Mengatasi Serangan Asam Urat (Sumber : pixabay.com/@SteveBuissinne)
Life25 April 2024, 07:00 WIB

Komunikasi Terbuka, 10 Cara Mendidik Anak Laki-laki yang Susah Diatur

Penting untuk terus beradaptasi dengan kebutuhan dan kepribadian anak laki-laki yang sulit diatur sambil tetap memegang nilai-nilai dan prinsip yang diyakini.
Ilustrasi pola asuh orang tua. | Komunikasi Terbuka: Cara Mendidik Anak Laki-laki yang Susah DiaturFoto: Freepik/@foto tekan
Food & Travel25 April 2024, 06:00 WIB

Cara Membuat Rebusan Daun Mahkota Dewa untuk Mengatur Gula Darah, Ini 7 Langkahnya!

Jika Anda memiliki kondisi kesehatan tertentu atau sedang mengonsumsi obat-obatan tertentu, penting untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan sebelum mengonsumsi rebusan atau ramuan herbal apa pun, termasuk rebusan daun mahkota dewa.
Cara Membuat Rebusan Daun Mahkota Dewa. Foto: Instagram/@kebuhbuahkita
Science25 April 2024, 05:00 WIB

Prakiraan Cuaca Jawa Barat 25 April 2024, Pagi Cerah Berawan dan Siang Potensi Hujan

Cuaca Sukabumi dan sekitarnya pada 25 April 2024, berpotensi pagi cerah dan hujan siang hari di semua wilayah Jawa Barat.
Ilustrasi - Cuaca Sukabumi dan sekitarnya pada 25 April 2024, berpotensi pagi cerah dan hujan siang hari di semua wilayah Jawa Barat. (Sumber : Freepik)
Sukabumi Memilih25 April 2024, 00:04 WIB

Ditutup 25 April, DPC Demokrat Jaring 7 Bacalon Bupati/Wakil Bupati Sukabumi

Tercatat sebanayk tujuh orang yang menyatakan akan maju menjadi calon bupati / wakil bupati Sukabumi yang akan maju melalui partai demokrat
Bambang Topan Firmasyah bakal calon wakil Bupati di Pilkada 2024 saat mendaftar di Kantor DPC Partai Demokrat Kabupaten Sukabumi | Foto : Ilyas Supendi
Sukabumi24 April 2024, 23:27 WIB

Dinas PU Perbaiki Titik Kerusakan di Jalan Ahmad Yani Palabuhanratu Sukabumi

Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Sukabumi melakukan perbaikan jalan rusak yang sempat menjadi keluhan warga di ruas Jalan Jendral Ahmad Yani, Kelurahan Palabuhanratu, Kecamatan Palabuhanratu.
Petugas Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Sukabumi perbaiki jalan Jendral Ahmad Yani di Palabuhanratu | Foto : Ilyas Supendi
Sukabumi24 April 2024, 22:55 WIB

Pelaksanaan PSAJ Tingkat SMP di Kabupaten Sukabumi Diikuti 25.576 Siswa

Pelaksanaan ujian sekolah kini berganti nama menjadi Penilaian Sumatif Akhir Jenjang (PSAJ).
Siswa SMPN 1 Bojonggenteng Kabupaten Sukabumi saat mengikuti Penilauan Sumatif Akhir Jenjang atau PSAJ | Foto : Ibnu Sanubari
Sukabumi24 April 2024, 22:03 WIB

Pengelola Parkir Pasar Surade Sukabumi Anggap Keluhan Pengunjung Bahan Evaluasi

Pengelola parkir di Pasar Surade Kabupaten Sukabumi memberikan tanggapan terkait keluhan pengunjung soal tata cara memungut uang parkir yang dilakukan oleh petugas.
Kondisi pasar Surade Sukabumi pada, Rabu (24/4/2025) | Foto : Ragil Gilang