SUKABUMIUPDATE.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Cikidang, Kabupaten Sukabumi mengklarifikasi soal adanya kegiatan keagamaan yang sempat diprotes beberapa warga Kampung Ciawitali, Desa Pangkalan. MUI memastikan, kegiatan keagamaan tersebut bukan aliran sesat.
Hal itu diungkapkan Ketua MUI Cikidang, Deden Zainal Mutaqqin. Deden mengklarifikasi bahwa dirinya tidak pernah menyebut aliran yang dimaksud, diduga sesat.
"Tidak ada kata-kata saya yang menyatakan jemaah diduga sesat. Apalagi itu dipimpin oleh guru saya," ujar Deden ditemui sukabumiupdate.com di Kantor MUI Kabupaten Sukabumi, Kamis (27/9/2018).
Deden menjelaskan, kegiatan keagamaan itu dipimpin putra dari KH Abdulhaq Nuh Allahu yarham, yang akrab disapa Aang Nuh. Beliau adalah kyai ternama dari Kabupaten Cianjur.
BACA JUGA: Soal Kerajaan Ubur-ubur, MUI Minta Masyarakat Sukabumi Melapor Bila Ada Ajaran Menyimpang
Terkait permasalahan di Cikidang, lanjut Deden, pihaknya hanya bermaksud menengahi pihak pondok pesantren dengan warga yang protes. Agar kesalahpahaman yang ada tidak terus bergulir.
"Karena pimpinan Pesantren Gentur itu, guru saya. Sedangkan warga Cikidang, khususnya Ciawi Tali, Desa Pangkalan, itu masyarakat saya," tutur Deden.
Deden tidak memungkiri adanya protes beberapa warga terkait aktivitas pembangunan pesantren dari Ponpes Gentur di Cikidang. Berdasarkan kesepakatan yang dibuat para pihak terkait dalam pertemuan di Kantor Desa Pangkalan beberapa waktu lalu, untuk sementara pembangunan pesantren diistirahatkan.
Meski begitu, Deden kembali menegaskan, bukan berarti kegiatan keagamaan yang diprotes warga adalah sesat. "Ponpes Gentur itu guru kita semua. Sangat jauh dari sesat," tutur Deden.
BACA JUGA: Wakil Bupati Sukabumi Bicara Sumbangsih Bahtsul Masail MUI Bagi Umat
Soal adanya warga yang menuduh sesat, Deden pun mengaku tidak tahu. Menurutnya, itu persoalan bersifat pribadi. "Lebih baik klarifikasi langsung ke yang bersangkutan (yang menuduh sesat,red)," imbuh Deden.
MUI, kata Deden, sudah menentukan 10 kategori ajaran atas nama Islam, yang bisa disebut sesat. Diantaranya jika mengurangi atau menambah rukun iman dan Islam, memindahkan Baitullah, serta mengganti Alquran dan nabi.
"Harapan saya, majelis talim salawat yang dipimpin putra dari Aang Nuh harus dilanjutkan. Saya menyetujui salawat itu, engak ada yang sesat," pungkas Deden.