SUKABUMIUPDATE.com - Sebuah tempat atau wilayah tidak terlepas dari sejarah atau peristiwa kehidupan. Seperti di Kabupaten Sukabumi terdapat nama Kampung Gunung Goong yang berada di Desa Cipurut, Kecamatan Cireunghas.
Bagaimana sejarah penamaan Kampung Gunung Goong tersebut? berikut ulasannya lewat referensi sejarah perkeretaapian di Pulau Jawa dan cerita tokoh-tokoh masyarakat di Kecamatan Cireunghas yang digali Ketua Yayasan Cagar Budaya Nasional Pojok Gunung Kekenceng Tedi Ginanjar.
Menurut Tedi, ada banyak cerita yang beredar di kalangan masyarakat Kecamatan Cireunghas terkait kisah mistis Gunung Goong (Gong) yang merupakan anak Gunung Manglayang yang tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Gandasoli yang terletak di Desa Cipurut Kecamatan Cireunghas.
Adapun Kecamatan Cireunghas dahulu merupakan wilayah kecamatan perwakilan dari Kecamatan Sukaraja, sebelum akhirnya dimekarkan menjadi sebuah kecamatan pada masa reformasi sekitar tahun 2000.
"Terkait cerita mistis itu, masyarakat di Kecamatan Cireunghas sudah mafhun bahwa pada waktu-waktu tertentu di Gunung Goong sering terdengar suara gong berkali-kali ditabuh dan terkadang terdengar bunyi gamelan ditabuh layaknya ada sebuah pesta pernikahan," kata Tedi kepada sukabumiupdate.com, Minggu (18/9/2022).
Baca Juga :
Lebih lanjut Tedi menuturkan, masyarakat setempat meyakini bahwa di Gunung Manglayang terdapat kerajaan makhluk halus sebangsa jin dan merupakan tempat pertemuan para raja dan ratu. Makhluk halus dari laut selatan yaitu Nyi Roro Kidul ketika menuju ke Gunung Manglayang, melalui Sungai Cimandiri. Sementara dari Gunung Gede yaitu Raden Surya Kancana dan sebagainya.
"Masyarakat dulu pun mempercayai bahwa antara Gunung Gede, Gunung Manglayang, dan Gunung Padang Cianjur yang terdapat Situs Megalithikum merupakan sebuah kesatuan wilayah kerajaan makhluk halus yang berpusat di Gunung Gede Pangrango," tuturnya.
Namun terlepas dari semua hal mistis tersebut, Tedi menjelaskan asal muasal penamaan Gunung Goong sesuai fakta yang ada yaitu dimulai ketika Pemerintah Kolonial Belanda melalui Staats Spoorwegen (SS) atau Perusahaan Kereta Api Negara gencar melakukan pembangunan jalur rel Kereta Api pada paruh kedua abad ke-19, di antaranya dari Stasiun Sukabumi hingga ke Stasiun Cianjur pada 10 Mei 1883 dengan jalur kereta api sepanjang 39 kilometer.
"Upaya pemerintah kolonial dalam membuka jalur kereta api ke wilayah pedalaman Jawa Barat dimaksudkan untuk mempermudah mengangkut hasil bumi seperti teh, karet, kopi dan kina. Nantinya hasil bumi tersebut akan dikirimkan ke ibu kota koloni di Batavia (Jakarta) yang sudah terhubung dengan jalur kereta api di Buitenzorg (Bogor) sejak 31 Januari 1873," ucapnya.
Tedi juga menyebut, selain untuk kepentingan ekonomi, adanya jalur kereta juga digunakan untuk kepentingan militer belanda dalam menumpas berbagai pemberontakan bumi putra yang menentang kebijakan pemerintah kolonial Belanda salah satunya Raden Prawata Sari.
"Dan untuk menyejahterakan masyarakat di daerah yang masih terisolir. Jalur Sukabumi Cianjur dikenal dengan jalur yang meliuk-liuk di daerah perbukitan. Tak hanya itu, sebuah terowongan dengan panjang 686 meter yang bernama terowongan Lampegan yang selesai dibangun pada 1882 juga cukup terkenal di daerah tersebut," katanya.
"Selanjutnya pada saat pembangunan jalur kereta api dari Stasiun Gandasoli menuju arah Stasiun Cireunghas dengan mempekerjakan tenaga kerja paksa Rodi yaitu tawanan perang Diponegoro dan tahanan lainnya serta dibantu penduduk sekitar. Pada waktu itu wilayah tersebut masih berupa hutan rimba belantara dan banyak dihuni binatang buas di sepanjang alur sungai Cimandiri yaitu tempat dibangunnya jalur kereta antara Gandasoli sampai Cireunghas," tambahnya.
Menurut beberapa narasumber yang berhasil digali keterangannya oleh Tedi, di sebuah tempat yang kini bernama Kampung Cibenteng yang lokasinya tak jauh dari sungai Cimandiri, pemerintah kolonial Belanda membangun sebuah Benteng Tentara Belanda dengan tujuan melakukan pengamanan pada kegiatan pembangunan jalur kereta api dan mengawasi kegiatan para pekerja paksa rodi.
"Di sekitar Benteng tentara Belanda tersebut dibangun bedeng-bedeng untuk menginap para pekerja paksa rodi dan keperluan lainnya seperti gudang peralatan. Kemudian di atas sebuah bukit yang berada di sebelah utara Benteng tentara Belanda dan jalur kereta api yang sedang dibuat, ditaruhlah oleh pimpinan tentara Belanda sebuah gong besar yang akan ditabuh untuk keperluan penanda waktu mulai bekerja, istirahat, selesai pekerjaan, adanya bahaya dan sebagainya. SehinggA oleh masyarakat bukit tersebut dinamai Gunung Goong dan tempat yang pernah dijadikan Benteng Tentara Belanda didekat sungai Cimandiri dinamai Cibenteng," katanya.