SUKABUMIUPDATE.com - Ketua Dewan Pengurus Cabang Serikat Petani Indonesia (DPC SPI) Sukabumi Rozak Daud menyoroti kasus berdirinya rumah permanen di atas lahan Perum Perhutani Bentang Barat di Kampung Cilimus RT 01/01 Desa Mekarsari, Kecamatan Sagaranten, Kabupaten Sukabumi.
Rozak mengatakan, meski sudah ada pernyataan dari pemilik rumah bahwa akan mengosongkan bangunan tersebut dan siap dibongkar sewaktu-waktu serta sudah dipasangi garis polisi, secara keadilan dan fungsi sosial, bukanlah sebuah solusi. Rozak bahkan menilai tindakan seperti itu sangat tidak manusiawi.
Menurut Rozak, ada dua dugaan yang mungkin terjadi dalam kasus ini. Pertama, Perum Perhutani tidak bekerja dengan baik, sehingga mengakibatkan kelalaian dengan adanya bangunan rumah di atas lahan negara. Kedua, ada unsur pembiaran, sehingga pendirian bangunan rumah tidak dihentikan sejak awal.
"Kenapa tidak dihentikan sejak awal. Berarti ada unsur pembiaran. Proses pembangunan rumah itu butuh waktu lama. Setelah rumah dibangun permanen, baru dipatok dan ditegur, bahkan dipasangi garis polisi. Kami menduga jangan-jangan ada yang main di internal Perhutani melakukan pembiaran," kata Rozak, Minggu (18/9/2022).
Rozak mengatakan DPC SPI Sukabumi mendorong kepolisian, bukan hanya memasang garis polisi berdasarkan aduan Perum Perhutani, namun juga harus melakukan penyelidikan atas kinerja Perum Perhutani yang diduga melakukan pembiaran terhadap berdirinya rumah warna putih ukuran 5x8 meter tersebut.
"Kenapa baru dihentikan setelah bangunan finishing, harus diselidiki motif itu. Jangan sampai ada motif lain, karena (keluarga pemilik rumah) sudah menduduki lahan tersebut 55 tahun, sedangkan usia Perhutani di tahun 2022 genap 61 tahun, cuma selisih 6 tahun," ujar Rozak.
Bahkan, kata Rozak, perluasan Perum Perhutani di Jawa Barat terjadi pada 1978 yang artinya baru 44 tahun hingga 2022. Sementara orang tua atau keluarga pemiliki rumah tersebut menurut pengakuannya sudah menduduki lahan itu selama 55 tahun. "Artinya 11 tahun lebih awal sebelum ada Perhutani," kata Rozak.
Rozak mengatakan karena rumah sudah dibangun dan jika lokasi ini berpotensi menjadi permukiman, tinggal dimohonkan sesuai Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan, untuk mempercepat reforma agraria lewat legalisasi objek agraria di kawasan hutan.
"Bukan dengan cara Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) seperti yang disampaikan pihak Perhutani, karena IPPKH itu untuk lahan pertanian," ujarnya.
Saepul Anwar (44 tahun), pemilik rumah, mengaku sudah puluhan tahun menduduki lahan tersebut. "Orang tua saya dan saya sudah menduduki lahan tersebut 55 tahun. Itu bangunan sudah yang ketiga kalinya, masih di lahan tersebut," kata Saepul yang juga masih warga Kampung Cilimus lewat WhatsApp.
Tak banyak yang dijelaskan Saepul, namun dua bangunan sebelumnya adalah masjid dan rumah. Sehingga ada tiga bangunan milik keluarga Saepul yang berdiri di lahan Perum Perhutani Bentang Barat. "Kelanjutannya terkait bangunan rumah, saat ini saya pun tidak tahu," ujar dia.
Pada Sabtu, 17 September 2022, garis polisi telah dipasang Perum Perhutani di rumah warna putih ukuran 5x8 meter milik Saepul. Polsek Sagaranten bersama Koramil, Perum Perhutani, Satpol PP, dan jajaran lainnya, meminta bangunan tersebut tidak digunakan atau ditempati.
Asisten Perhutani (Asper) Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Sagaranten Usu Juarsa mengatakan pemasangan garis polisi bertujuan mengantisipasi bentuk penguasaan kawasan yang diklaim atau dikelola pihak lain. Rumah itu berdiri di kawasan hutan petak 79z1, masuk wilayah RPH Bentang Barat BKPH Sagaranten.
Sebelumnya, Kepala Resort Pemangkuan Hutan (KRPH) Perum Perhutani Bentang Barat, Cecep, mengatakan rumah tersebut sudah ada dari beberapa tahun lalu. Cecep menyebut pemilik sudah membuat surat pernyataan untuk tidak menempati rumah itu dan siap membongkarnya.
"Itu tidak ada izin. Memang sebelum saya tugas ke Sagaranten. Dari informasi, itu bangunan sudah ada beberapa tahun lalu, dan baru satu bulan oleh pemilik rumah dikerjakan kembali (finishing). Belum sempat ditempati karena belum beres semuanya," katanya pada 15 September 2022.
Berdasarkan foto surat pernyataan, Saepul selaku pemilik rumah mengakui telah melakukan pembangunan rumah di atas tanah negara yang dikelola Perum Perhutani. Dalam surat pernyataan itu, Saepul juga mengaku bersalah dan siap meninggalkan atau membongkar bangunan, sewaktu-waktu apabila digunakan oleh negara. Surat pernyataan ini ditandatangani Saepul, saksi, dan Kepala Desa Mekarsari.