SUKABUMIUPDATE.com - Direktur Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sukabumi, Abubakar Abdul Hasan (Aa Hasan), mengkritisi besarnya anggaran urusan perut dalam hal ini biaya makanan dan minuman dalam institusi pemerintah daerah (pemda) khusunya di Kota Sukabumi.
Aa Hasan menjelaskan, tiga besar organisasi perangkat daerah (OPD) dengan biaya makan minum terbesar adalah Dinas Kesehatan sebesar Rp. 3,2 Miliar atau 19,1 persen, Sekretriat Daerah sebesar Rp. 3 Milyar atau 17,5 persen dan Sekretariat Dewan sebesar Rp. 1,6 Milyar atau 9,7 persen dari total anggaran makan – minum OPD.
"Temuan lain misalnya tidak ada anggaran khusus untuk makan minum bayi atau balita dan ibu hamil,” ujarnya kepada sukabumiupdate.com, Kamis (7/2/2019).
BACA JUGA: Catatan Fitra tentang Ruang Gelap APBD Kota Sukabumi
Aa Hasan menuturkan, setiap program yang dilaksanakan oleh OPD pasti ada komponen belanja makan dan minuman, hal yang demikian memang tak dapat dihidarkan namun dapat diefisienkan.
“Publik berhak mengetahui standar harga satuan yang ditetapkan oleh kepala daerah dengan berbagai pertimbangan, salah satu diantaranya adalah inflasi ekonomi,” tuturnya.
Menurutnya, pada setiap program OPD belanja makan minum secara garis besar dibagi ke dalam tiga kelompok, pertama belanja Makan dan Minuman Rapat, kedua Belanja Makan dan Minuman Tamu dan yang ketiga Belanja Makan dan Minuman Peserta dan beberapa jenis belanja makan minum lainnya.
“Publik tentu ingin dan memiliki hak untuk mengetahui harga satuan belanja makan dan minuman untuk setiap orang kegiatan,” jelasnya.
Ia menilai, seharusnya OPD dapat menjelaskan secara detail apa jenis makan dan minumannya sehingga dapat ditemukan rasionalisasi harga. Menurutnya, hal ini akan terjawab bila setiap OPD mau memberikan informasi dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) yang merupakan dokumen publik bila merujuk pada Peraturan Komisi Informasi. Namun, bagi OPD akan tidak setuju karena DPA bagi OPD adalah dokumen dapurnya.
“Kondisi ini membingungkan nalar sehat, siapapun (selain penyelenggara pemerintahan, red) karena rakyatlah pemegang saham mayoritas atas anggaran yang dikelola oleh pemerintah,” imbuhnya.
Lanjutnya, semakin tertutup pengelolaan anggaran rakyat, maka di sanalah awal mula muncul potensi penyimpangan. Menurutnya, rakyat tidak punya saluran untuk mendapatkan informasi standar harga satuannya belanja urusan perut tersebut.
BACA JUGA: FITRA Sebut Ada Potensi Manipulasi Pada Anggaran BKPSDM Kota Sukabumi TA 2018
“Memang pemerintah daerah tidak berkeinginan untuk memenuhi salah satu hak warganya, yakni mengetahui anggaran daerah dan kinerjanya,” tegasnya.
Tambahnya, tidak bisanya masyarakat mengakses informasi anggaran menandakan bahwa pemerintah mengidap sebuah sindrom kuasa akut. Sindrom ini menyerang sendi–sendi kepekaan dan kesadaran bahwa anggaran atau uang yang dikelolanya adalah uang rakyat sebagai pemegang saham mayoritas.
“Pertanyaan besarnya adalah, maukah pemerintah daerah terbuka?,” pungkasnya.