SUKABUMIUPDATE.com - Spekulan tanah marak ditemukan di Ibu Kota Negara baru atau IKN di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Para spekulan dari berbagai daerah, terutama Jakarta, menguasai lahan dan menjualnya kembali dengan harga tinggi sejak Presiden Joko Jokowi mengumumkan pemindahan ibu kota pada 2019 silam.
Dilansir dari tempo.co, seorang pejabat di Kabinet Indonesia Maju yang tidak disebutkan namanya itu mengatakan, pihaknya menemukan ada nama pejabat yang telah mengempit 40 ribu hektar tanah.
“Luasnya setara dengan empat kali Kota Bogor loh. Luar biasa,” ucapnya.
Kehadiran para spekulan menyebabkan harga tanah di Kalimantan Timur naik pesat. Kenaikannya bahkan mencapai sepuluh kali lipat dalam kurun dua tahun.
Harga tanah yang semula Rp 100 juta per hektar, kini melipat menjadi Rp 1 miliar per hektar.
Baca Juga :
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Suharso Monoarfa mengatakan, pemerintah telah berupaya mencegah maraknya para spekulan.
Pemerintah menggunakan ketentuan pengadaan lahan untuk menjalankan mekanisme pembebasan tanah.
Kebijakan ini berpayung pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum.
Dia juga mengklaim, sebagian besar lahan IKN sudah dikuasai pemerintah.
“Sebanyak 86 persen sudah dikuasai pemerintah,” katanya.
Pemerintah menetapkan, luas lahan IKN sebesar 256,1 ribu hektar. Luasan itu lebih besar dari rencana sebelumnya yakni sebesar 200 ribu hektar.
Pelaksana tugas Bupati Penajam Paser Utara (PPU), Hamdam Pongrewa menilai, Perbub Nomor 22 Tahun 2019 tentang Pengendalian dan Pengawasan Jual-Beli Tanah perlu direvisi.
Tujuannya, untuk melahirkan produk hukum yang mencegah spekulan tanah untuk menguasai tanah dalam jumlah yang besar serta tetap memberikan ruang bagi masyarakat untuk bertransaksi sesuai kebutuhan.
"Perbup itu juga sempat mendapat koreksi dari Biro Hukum Pemprov Kaltim, tinggal kita revisi," kata.
Ia menjelaskan, pihaknya bukan ingin melarang warga untuk menjual tanahnya. Namun, ia menegaskan pemerintah tidak ingin tanah dikuasai oleh spekulan dalam jumlah yang luas.
"Ini tidak bisa dilarang, tapi harus dikendalikan. Kami harus tahu siapa yang membeli," pungkasnya.
Sumber: tempo.co