SUKABUMIUPDATE.com - Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan semester II tahun 2020 terhadap PT Pupuk Indonesia dan anak perusahaannya yakni PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Sriwijaya Palembang, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Petrokimia Gresik, dan PT Pupuk Indonesia Logistik, ditemukan beberapa penyimpangan yang diduga merugikan negara.
"Di tengah penghargaan atas keberhasilan PT Pupuk Indonesia HC membukukan keuntungan, tetap harus memerhatikan temuan BPK tersebut. Jangan sampai ada kesan subsidi pupuk untuk petani justru banyak dinikmati oleh BUMN Pupuk," kata Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) drh Slamet, Senin, 19 Juli 2021.
Slamet mengatakan ada banyak temuan BPK terkait Harga Pokok Produksi (HPP) yang terlalu tinggi karena memasukkan biaya-biaya yang seharusnya bukan komponen biaya produksi sehingga tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/Permentan/Sr.130/1/2012 tentang Komponen Harga Pokok Penjualan Pupuk Bersubsidi untuk sektor pertanian.
Temuan lain dalam laporan BPK tersebut, sambung Slamet, terkait manajemen hubungan kerja dengan para rekanan yang menyebabkan pemborosan pada biaya distribusi, di mana ujungnya juga dibebankan pada Harga Pokok Produksi yang menyedot subsidi pupuk negara pada pembiayaan yang tidak semestinya.
Ditemukan juga penyaluran pupuk bersubsidi yang belum direncanakan, dilaksanakan, dan dipantau secara cermat sehingga tidak tepat sasaran mulai dari distributor sampai ke pengecer. "Hal ini berpotensi ada petani yang tidak mendapatkan haknya sesuai eRDKK atau menyebabkan kelangkaan pupuk di lapangan," kata legislator asal Sukabumi itu.
Slamet menyebut persoalan pupuk bersubsidi terletak pada besarnya angka subsidi pupuk oleh negara dan manajemen penyaluran yang tidak tepat sasaran sehingga menyebabkan pupuk bersubsidi langka dan tidak dirasakan oleh petani yang berujung belum meningkatnya produktivitas mereka.
"Alhasil angka pertumbuhan produksi panen padi petani menjadi stagnan bahkan cenderung menurun. Padahal angka subsidi yang sebesar Rp 34,2 triliun itu baru mensubsidi sekitar 34 persen dari kebutuhan eRDKK atau sekitar 8,8 juta ton dari 26,2 juta ton," imbuhnya.
Di sisi lain, Slamet mengaku banyak melihat kemampuan petani, UKM, dan perusahaan swasta menciptakan pupuk murah yang bagus dan diminati petani, tetapi pemerintah melakukan pembatasan dan mekanisme izin yang super ketat sehingga sulit ditembus. "Lebih ketat dari masuknya pupuk impor," kata dia.
Baca Juga :
"Di tengah kelangkaan pupuk bersubsidi dan tingginya subsidi pupuk, saya menyarankan agar presiden membuka pembatasan peran masyarakat untuk ikut membangun negara melalui penemuan pupuk bagus dan murah dan menekan pemborosan. BUMN harus efisien dan tidak kalah bersaing dengan pupuk buatan petani, UKM, atau swasta lainnya," pungkasnya.