SUKABUMIUPDATE.com - Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS, drh Slamet, menyoroti munculnya keluhan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) atas Bulog dan pemerintah yang tidak membeli hasil produksi gula mereka, tetapi malah mengusulkan impor gula hingga 200 ribu ton.
BACA JUGA: Stop Impor! drh Slamet Minta Pemerintah Berdayakan Petani Garam
"Pemerintah seharusnya menyerap hasil produksi petani, bukan justru memilih impor ketika stok pada petani berkecukupan," kata Slamet kepada sukabumiupdate.com, Sabtu (7/3/2020).
Legislator asal Sukabumi tersebut mengungkapkan, penambahan impor ini tidak masuk akal. Pasalnya, pemerintah sebelumnya telah menerbitkan surat Perizinan Impor (SPI) untuk 438.802 ton kristal mentah (raw sugar).
Slamet menyebut, situasi saat ini terlihat adanya regulasi yang tidak terkontrol pada tataran implementasinya. Inilah, sambung Slamet, yang menjadi sumber polemik di masyarakat, terutama komunitas petani tebu rakyat mulai dari petani hingga asosiasinya.
"Pemerintah harus berpegang pada ketentuan yang ada, yaitu Undang-Undang Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Bila pemerintah sendiri yang tidak menganggap peraturan regulasi kenegaraan, maka aturan ini akan kehilangan kewibawaanya," tegas Slamet.
BACA JUGA: Temukan Impor Sampah 1078 Kontainer di Tanjung Priok, drh Slamet Minta Izinnya Ditutup
Slamet menuturkan, Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani secara jelas menyebutkan, bahwa kebutuhan pangan nasional, dipenuhi dengan memprioritaskan produksi pertanian dalam negeri. Oleh karena itu, langkah yang dilakukan oleh pemerintah saat ini jelas telah melanggar ketentuan perundangan.
"Petani kita memiliki kemampuan untuk memproduksi berbagai komoditas. Namun, kemampuan saja tidak cukup, melainkan harus dibarengi oleh political will (kemauan politik). Indonesia mampu swasembada atas banyak komoditas, seperti padi, jagung, kedelai, gula, bawang, dan lain sebagainya."
Terakhir Slamet menambahkan, kebijakan ekonomi dan politik pemerintah yang pro impor akan menjadi risiko bagi keberlanjutan pertanian. "Padahal kita sangat mungkin untuk memenuhi kebutuhan produk pangan yang melimpah dari dalam negeri, asalkan keberpihakan pada petani merupakan hal yang utama," tukasnya.