SUKABUMIUPDATE.com - Rencana pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Omnibus Law, menuai sorotan anggota DPR RI fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), drh Slamet. Menurut Slamet, NKRI yang menganut ‘Civil Law’, harus berubah haluan bila menerapkan tata hukum 'Omnibus Law'.
BACA JUGA: drh Slamet Sebut Omnibuslaw Kebiri Hak Legislasi DPR RI
Slamet mengatakan, dalam persoalan ini seharusnya pakar hukum yang bersuara, bukan hanya pengusaha. Karena, sambung Slamet, selama ini tata hukum Indonesia menganut Civil Law. Para pakar hukum saatnya berbicara apa konsekuensinya bila sekarang menerapkan Omnibus Law.
"Selama ini kita sudah mengenal Undang-Undang Pokok atau Undang-Undang payung yang menjadi pokok dari beberapa Undang-Undang yang lebih rinci. Seperti Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Pokok Kepegawaian, Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Pokok Kearsipan, Undang-Undang Pokok Pemerintah Daerah, Undang-Undamg Pokok Kehutanan dan lainnya," ucap Slamet kepada sukabumiupdate.com, Kamis (27/2/2020).
Slamet mengungkapkan, saat awal Undang-Undang Omnibus Law (OL) dihembuskan pemerintah, mereka mengatakan ini adalah Undang-Undang Pokok atau Undang-Undang payung. Tapi kenyataannya, banyak sekali pasal-pasal yang berubah dan hilang dari Undang-Undang lama pada Undang-Undang Cipta Kerja tersebut.
Hal ini, kata Slamet, memperlihatkan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja bukanlah Undang-Undang Pokok atau Undang-Undang payung, melainkan Undang-Undang "Eliminator" atau Undang-Undang yang mengeliminasi (menghapus) banyak sekali produk hukum di Undang-Undang lama. Slamet menanyakan, apakah Omnibus Law merupakan terobosan atau pengabaian secara legal atas aturan hukum yang ada?
BACA JUGA: drh Slamet Suarakan Nasib PPL dalam Program AWR Kementan
"Omnibus Law ini seperti Undang-Undang eliminator yang mengeliminir atau menghapuskan banyak pasal dari Undang-Undang yang lebih rinci yang telah ada sebelumnya. Sehingga, menjadikan Undang-Undang yang sudah berlaku sekarang menjadi tidak berlaku lagi," tambah Slamet.
Seharusnya jika Undang-Undang Omnibus Law ini adalah Undang-Undang Pokok, tambah Slamet maka dia sekedar mengikat dan mengarahkan saja. Dengan kata lain, lanjut Slamet, jika mau merapihkan, bukan menghilangkan pasal yang sudah ada sebelumnya. Jika dianggap banyak yang bertabrakan atau menyulitkan, tidak sebanyak itu yang dihapuskan. Terutama yang menyangkut perlindungan terhadap masyarakat.
"Jika begini, selanjutnya bisa jadi bukan hanya Undang-Undang lama yang dihilangkan, tapi menghilangkan perlindungan terhadap eksistensi bangsa Indonesia,"tegas Slamet.
Misalnya, Slamet memberikan contoh, Undang-Undang Omnibus Law yang bernama Undang-Undang Cipta Kerja berpotensi mengeliminir atau menghapus 79 Undang-Undang yang sudah ada sebelumnya. Artinya, kata Slamet, satu Undang-Undang saja mengeliminir kerja DPR RI selama beberapa tahun.
"Dalam satu tahun, satu komisi itu mungkin hanya bisa menghasilkan dua hingga empat Undang-Undang baru. Ini betul-betul menghapus produk legislasi DPR RI selama ini. Selain itu 79 Undang-Undang yang akan dihapus ini, 55 Undang-Undang diantaranya sudah masuk prolegnas untuk diperbaharui di tahun ini."
"Itu berarti, Omnibus Law juga akan mengacaukan prolegnas yang sudah disusun. Tak berhenti di sana, perlu diwaspadai pula proses pembahasan Undang-Undang Omnibus Law ini, seperti proses pembahasan RUU KPK yang super kilat. Sehingga, fungsi legislasi DPR, tidak dihargai sama sekali. Pemerintah bisa menjadi otoriter dan arogan bila mengabaikan pilar negara demokrasi yaitu proses legislasi di lembaga legislatif," tukas Slamet.