SUKABUMIUPDATE.com - Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS, drh Slamet menilai, kebijakan pemerintah untuk melakukan omnibus law akan mengebiri hak legislasi anggota DPR RI.
BACA JUGA: drh Slamet, Legislator Senayan Baru dari Sukabumi
Menurut Slamet, selama ini DPR hanya membuat aturan yang sifatnya umum. Sementara itu, aturan yang spesifik diatur oleh pemerintah dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri (Permen).
"DPR sebagai wakil rakyat yang diharapkan konstituen memperjuangkan aspirasinya, menjadi tak berdaya ketika tidak berbuat maksimal dalam penyusunan Undang-undang," ucap Slamet kepada sukabumiupdate.com belum lama ini.
Slamet mengungkapkan, saat ini pemerintah menghembuskan ide menyatukan beberapa Undang-undang menjadi satu Undang-undang payung dengan sebutan omnibus law. Itu artinya, sambung Slamet, Undang-undang hanya akan berbicara umum di dalamnya. Sedangkan, pembahasan spesifik akan semakin didorong kearah PP dan Permen.
"Tentu ini pengebirian hak legislasi DPR. Karena DPR, tidak berwenang menjangkau wilayah PP atau Permen. Sebagian hak legislasi seolah dirampas oleh eksekutif. Memang DPR semakin santai dan ringan tanggungjawab legislasinya, tetapi sesungguhnya semakin berat perjuangannya dalam membela aspirasi rakyat," tegas Slamet.
Omnibus law, masih kata Slamet, yang dihembuskan pemerintah saat ini, menyentuh lini investasi dan perpajakan. Dalam kacamata PDB atau pertumbuhan ekonomi, tentu dua hal ini yang paling strategis.
BACA JUGA: drh Slamet Sebut Penanganan Karhutla 2020 Menjadi Tolak Ukur Kinerja KLHK dan BRG
Saat ini saja, sambung Slamet sebagian ahli mempertanyakan ketika presiden menyebut pertumbuhan ekonomi berada di lima persen dan Menteri Keuangan (Menkeu) menyatakan pertumbuhan pajak berada di 14 persen.
"Akan tetapi, sangat disayangkan pertumbuhan subsidi pemerintah kepada rakyat justru minus di bawah 0 persen, alias menurun. Selain itu, pertumbuhan pembayaran hutang juga menurun, sedangkan pertumbuhan utang tetap positif. Maka, jika hak legislasi DPR terkurangi karena UU hanya mengatur hal umum saja, maka perimbangan kekuatan antara legislatif dan eksekutif tidak terjadi. Jika eksekutif makin absolut, tentu secara teori dia akan makin berpeluang untuk korup dan otoriter," tandas Slamet.