SUKABUMIUPDATE.com - Selain ditentang oleh kalangan pengusaha, kebijakan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, menaikkan upah buruh dengan masa kerja diatas setahun juga dikecam oleh kalangan buruh. Bahkan mereka melalui Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengancam akan melakukan aksi demonstrasi besar-besaran di Gedung Sate Bandung, Jawa Barat.
"Di Jawa Barat dalam waktu dekat mungkin sekitar 7 atau 10 Januari ini Jawa Barat Gedung Sate puluhan ribu buruh akan kembali datang. All out buruh akan melawan gubernur Kang Emil (Ridwan Kamil)," kata Presiden KSPI, Said Iqbal dalam konferensi pers virtual Selasa, 4 Januari 2022.
Seperti diketahui, kebijakan menaikkan upah buruh Jawa Barat sebesar 3,27 hingga 5 persen bagi yang masa kerjanya lebih dari satu tahun, dituangkan Ridwan Kamil melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 561/KEP.874-Kesra/2022 tentang kenaikan Upah Bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja lebih dari satu tahun pada perusahaan di Jawa Barat.
Menurut Said Iqbal, kebijakan tersebut ngawur dan sangat merugikan buruh, sehingga secara tegas dia menolak kebijakan tersebut. Selain ancam demo, lanjut dia, buruh juga akan bertindak sama dengan pengusaha, yaitu menggugat SK tersebut ke PTUN.
Baca Juga :
"Dalam kebijakan itu dikatakan, 5 persen kenaikan itu dihitung dari upah minimum atau UMK. Ngawur! Tidak ada kenaikan upah berkala tahunan yang bermasa kerja di atas satu tahun dihitung dari upah minimum," katanya.
Pria yang juga menjabat Presiden Partai Buruh itu menegaskan, kenaikan upah berkala tahunan seharusnya didasarkan pada nilai upah terakhir, bukan besaran UMK sebelumnya.
Seperti dilansir dari suara.com, dia pun mencoba mengilustrasikan kerugian buruh jika kebijakan itu nantinya diterapkan.
"Misalnya, upah minimum Depok sekarang itu kan sekitar Rp 4,3 juta. kalau naik 5 persen, berarti (kenaikannya) sekitar Rp 216 ribu per bulan, karena naiknya dari upah minimum maka kenaikannya akan flat (datar)," katanya.
"Nah, sekarang kalau masa kerja buruh sudah 5 tahun, tidak mungkin kan dia upahnya Rp 4,3 juta. Misalkan saja, (upahnya sudah) Rp 5 juta. Nah, Rp 216 ribu terhadap 5 juta itu bukan 5 persen, tapi sekitar 3,7 persen," lanjutnya.
Atas dasar hitungan semacam itulah Said Iqbal menegaskan bahwa kebijakan skala upah rumusan Ridwan Kamil itu merugikan buruh. Lebih jauh, dinilai merusak sistem upah itu sendiri.
Lagi pula, Said Iqbal kembali menegaskan, penentuan besaran kenaikan upah berkala itu seharusnya diambil dari hasil perundingan antara perwakilan buruh tingkat perusahaan dengan manajemen, bukan tugas gubernur.
"Kalau orang tidak mengerti ilmu memutuskan perkara begini, bahaya sekali. Tidak cerdas, melanggar undang-undang, membahayakan nasib buruh," ungkapnya.
Berkelit dari Demo Buruh
Said Iqbal beranggapan, keputusan ini jadi tamparan kedua bagi kalangan buruh setelah sebelumnya dikecewakan oleh penentuan UMK 2022 untuk wilayah Jabar yang nilainya jauh dari layak.
Penentuan kenaikan upah untuk buruh dengan masa kerja lebih dari satu tahun itu dinilai sebagai upaya Ridwan Kamil berkelit dari demo-demo buruh, dengan kata lain untuk meredam protes buruh agar tak berkelanjutan.
"Takut di demo oleh buruh dan takut oleh pemerintah pusat. Aneh ini Gubernur Jabar. Belum pernah sepanjang sejarah Gubernur Jabar takut sama rakyat, takut didemo, takut sama pemerintah pusat. Bikin kebijakan aneh dan melanggar undang-undang," katanya.
"Naiknya itu 5 persen dari nilai upah terakhir, itu yang benar," katanya lagi.
Baca Juga :
Selaku salah seorang pimpinan buruh, katanya, Said Iqbal menolak keras kebijakan Ridwan Kamil. Jika ada buruh yang menerima aturan tersebut, Said Iqbal menyebut mereka itu hanyalah golongan elite yang mungkin dekat dengan Ridwan Kamil.
"Kalau dibilang ada buruh yang setuju, itu elitnya buruh, bukan buruh. Elite buruh yang kebetulan dekat dengan Bapak (Ridwan Kamil). Mana ada buruh yang mau (menerima kebijakan semacam itu)," tandasnya.
SUMBER: SUARA.COM