SUKABUMIUPDATE.com - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengajak Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) ikut andil menyiapkan cetak biru Jabar Resilience Culture Province yang saat ini sedang digodok.
Menurut Gubernur, dalam usia 20 tahun DPKLTS telah berjasa menjaga kelestarian lingkungan Jawa Barat. Sehingga sudah seharusnya cetak biru Jabar Resilience Culture Province (JRCP) atau atau Provinsi Berbudaya Tangguh juga melibatkan DPLKTS sebagai stakeholders.
“Dirgahayu DPLKTS yang ke-20 tahun, panjang umur tetap cintai Jawa Barat lingkungannya,” ujar Ridwan Kamil saat Peringatan 20 Tahun DPKLTS: ‘Membangun Budaya Resiliensi menuju Penghidupan yang Berkelanjutan’, di Kota Bandung, Jumat (10/9/2021).
“Mari kita silih asih, silih asuh, silih asah. Sehingga kita tidak melihat istilah cai beak leuweung balangsak,” tuturnya dalam bahasa Sunda.
Gubernur menjelaskan, pada masa kepemimpinannya pengambilan kebijakan menjadi sesuatu yang krusial dalam membawa dampak positif bagi masyarakat. Dengan partisipasi DPKLTS, budaya tangguh dapat tertanam kuat pada diri anak cucu Jabar di masa depan.
“Kami mewariskan sebuah dokumen penting yakni cetak biru Jabar Resilience Culture Province, jadi provinsi yang memiliki budaya ketangguhan,” kata Ridwan Kamil.
Dokumen cetak biru tersebut, kata Gubernur, menjadi bukti komitmen Pemda Provinsi Jawa Barat tidak setengah-setengah dalam melestarikan lingkungan.
“Keberpihakan anggaran tidak setengah-setengah dan ketangguhan kita terhadap disrupsi kemudian kolaborasinya. Itu akan menjadi dokumen yang akan menjadi lestari,” pungkasnya.
Masih dikutip dari website resmi pemprov Jabar, banjir adalah isu kebencanaan yang kerap melanda wilayah Jawa Barat (Jabar) bagian tengah ke utara dengan kondisi permukaan tanah yang lurus, sementara longsor kerap terjadi di wilayah tengah ke selatan dengan kondisi tanah yang curam.
Sebanyak 20 dari 27 kabupaten/kota di Jabar pun tergolong dalam kelas risiko bencana tinggi, empat di antaranya yakni Cianjur, Garut, Sukabumi, dan Tasikmalaya bahkan masuk dalam lima besar risiko bencana tertinggi nasional.
Untuk itu, Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Jabar menekankan perlunya menyusun cetak biru provinsi tangguh bencana alias Jabar Resilience Culture Province (JRCP).
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, JRCP akan menjadi sebuah visi sekaligus budaya yang melekat dalam setiap instrumen di provinsi dengan jumlah penduduk terbesar se-Indonesia ini.
"Saya ingin membawa Jabar sebagai provinsi yang tangguh melalui multidimensi, maka disebutnya culture bukan program atau proyek," kata Ridwan Kamil saat jadi pembicara dalam acara Urban Motion Vol 3 dengan tema 'Resiliensi di Era Disrupsi' di Kampus ITB Kota Bandung, Jumat (17/1/2020).
Selain itu, Emil juga memaparkan bahwa Jabar mewakili Indonesia dalam Ring of Fire --negara dengan gunung berapi paling banyak di dunia dan tempat berkumpulnya lempeng-lempeng dunia. "Sehingga gempa bumi sering terjadi. Nah, Jabar mewakili itu (Ring of Fire), gunung berapinya banyak," ucap Emil.
Emil pun menyatakan bahwa rata-rata per tahun laporan kebencanaan di Jabar mencapai 1.200, atau rata-rata dalam 365 hari dalam setahun terjadi 3 kali bencana alam per hari.
Adapun enam fokus pada cetak biru JRCP ini meliputi: (1) Resilience Citizens, yaitu: menciptakan masyarakat yang sadar risiko bencana, memiliki kesiapsiagaan, tangguh dan mampu pulih segera bila terkena bencana; (2) Resilience Knowledge, yaitu Iptek kebencanaan yang andal sekaligus memadukan kearifan lokal dan nilai sosial yang ada di Jabar.
Lalu, (3) Resilience Infrastructure, yakni menciptakan infrastruktur dan sarana pembangunan yang tangguh dan sebagai alat mitigasi; (4) Resilience Institution and Policy, yaitu sebuah kerangka regulasi dan kelembagaan yang mumpuni dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Serta, (5) Resilience Ecology, yaitu membentuk daya dukung lingkungan yang baik, mampu mengurangi risiko bencana dan menjaga keberlanjutan pembangunan; dan (6) Resilience Financing berupa kemampuan pembiayaan yang tangguh dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana untuk menjaga risiko investasi pembangunan.
"Kami tak ingin JRCP jadi dokumen saja, saya ingin anak-anak SD, SMP, SMA pun paham, termasuk masyarakat di pedesaan," tutup Emil.