SUKABUMIUPDATE.com - Panitia Khusus DPRD Jawa Barat saat ini terus mengumpulkan bahan kajian dalam rangka menyusun rancangan perda baru tentang penyelenggaraan Perpustakaan. Salah seorang anggota Pansus DPRD, Hendar Darsono menyebut ada 21 permasalahan penyelenggaraan perpustakaan di Jabar ini.
Permasalahan ini ungkap Hendar ada dalam naskah akademik yang disusun oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat yang bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. "Kami di pansus sudah memegang draf naskah akademik dari Unpad dimana didalamnya ada 21 permasalahan penyelenggaraan perpustakaan di Jabar selama ini," jelas anggota Komisi II DPRD Jabar ini kepada sukabumiupdate.com, usai rapat pansus Penyelenggaraan Perpustakaan di Dispusipda Kabupaten Garut, Senin (24/5/2021).
Wakil rakyat dari daerah pemilik Jawa Barat V (Sukabumi) ini menegaskan bahwa pansus masih melakukan inventarisasi permasalah, dibahas satu persatu untuk mencari formulasi solusi yang bisa diterapkan pada Raperda yang tengah dirancang. DPRD bersama Pemprov, akademisi dan unsur lainnya sepakat bahwa penataan kelembagaan dan kewenangan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat perlu ditinjau kembali.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 17 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Perpustakaan Umum, lanjut anggota Fraksi Partai Demokrat seiring dengan dinamika perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, menjadi kurang mewadahi dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat akan informasi dan pengetahuan.
"Kita sudah sepakat membahas Rancangan Perda baru menggantikan Perda Nomor 17 tahun 2011 tersebut. Kita urai masalahnya, kita cari solusinya," beber pria yang juga menjabat sebagai Ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Sukabumi lebih jauh.
Baca Juga :
Berikut 21 masalah penyelenggaraan perpustakaan di Jawa Barat selama ini. Dikutip dari naskah akademik yang disusun Fikom Unpad dan Pemprov Jabar.
1. Belum ada pembatasan kewenangan yang jelas antara perpustakaan dengan lembaga terkait.
2. Infrastruktur belum representatif.
3. Belum terbangun pola komunikasi terutama secara horizontal dan vertikal.
4. Penyelenggaraan perpustakaan, terutama aspek layanan, belum dikelola secara profesional.
5. Pembangunan perpustakaan belum menjadi prioritas.
6. Hak akses informasi masyarakat terhadap perpustakaan umum belum merata (layanan berbasis inklusi sosial).
7. Perpustakaan belum melaksanakan fungsinya dengan optimal.
8. Belum akomodatif terhadap aspirasi masyarakat dan masih lemah dalam kerja sama serta membangun jejaring (networking).
9. Ketersediaan tenaga pengelola (pustakawan) masih sangat kurang, baik secara kuantitas maupun kualitas.
10. Pertumbuhan dan perkembangan informasi semakin cepat dan tak terbatas. Hal ini menimbulkan kesenjangan informasi terjadi di mana-mana. Perkembangan media digital semakin cepat, tak terkendali; sehingga kesenjangan digital (digital divide) pun menjadi semakin melebar dan kompleks.
11. Perilaku membaca berubah dari bacaan cetak ke arah bacaan elektronik. Sebagai dampaknya budaya membaca pun berubah sesuai dengan tuntutan zamannya.
12. Perkembangan Social media (media sosial) sangat beragam dan semakin kompleks; kontennya pun semakin tak terarah, cenderung bebas, bahkan “kebablasan”; sebagai dampaknya, setiap orang merasa bebas untuk mengemukakan sesuatu, termasuk yang merugikan pihak lain.
13. Pengelolaan pusat sumber informasi bergeser dari lembaga ke personal. Dulu perpustakaan adalah lembaga/institusi, tempat, gedung, ruangan; kini perpustakaan seolah dalam genggaman.
14. Perilaku informasi bergeser dari interpersonal dan sosial ke arah digital dan virtual. Perilaku perpustakaan, profesi pustakawan, dan pemustaka atau anggota masyarakat sebagai pengguna informasi dan sumber-sumber informasi dan kepustakaan, bergeser ke arah digital. Bentuknya, dari pola interaksi tatap muka berubah ke arah tatap maya; dari pemustaka ke pengakses.
15. Pusat sumber belajar bersama, fasilitas dan sarana belajar dan pembelajaran menjadi sangat beragam. Potensi masyarakat sebagai pengguna informasi dan pustaka digital menjadi semakin dimudahkan, meskipun belum merata. Pengetahuan dan sumber-sumber pengetahuan pun semakin beragam, semakin mudah didapat, namun disisi lain masih banyak anggota masyarakat yang tidak mampu menggapainya.
16. Informasi dan sumber-sumber informasi, terutama sumber-sumber kepustakaan digital, semakin dekat dengan penggunanya atau masyarakatnya; sehingga berdampak kepada “kunjungan langsung” ke pusat-pusat informasi, termasuk perpustakaan. Ada kecenderungan berkurangnya jumlah anggota masyarakat yang datang secara langsung ke pusat-pusat informasi dan perpustakaan, namun pengguna aktif yang mengakses informasi digital ke lembaga dimaksud, cenderung semakin bertambah.
17. Berbagi informasi dan pengetahuan di kalangan masyarakat melalui media sosial dan media online semakin marak dan terus berkembang semakin kompleks, sehingga sedikit banyak berdampak pada penggunaan informasi dan sumber sumber pustaka berbasis cetak.
18. Literasi informasi menjadi terlalu umum, tidak spesifik, bergeser ke arah yang lebih spesifik; seperti literasi digital, literasi media, literasi perpustakaan, literasi pustakawan, literasi pengetahuan, literasi penghidupan, literasi wirausaha, dst.
19. Mengelola pengetahuan dan sumber-sumber pengetahuan tidak lagi generalis, tetapi lebih mengarah ke spesifik. Perpustakaan tidak lagi hanya mengelola pengetahuan dan sumber-sumber pengetahuan yang cenderung eksplisit, namun termasuk juga yang tacit. Sebabnya antara lain adalah karena sumber-sumber pengetahuan yang eksplisit semakin banyak yang digenggam orang (di handphone).
20. Layanan perpustakaan konvensional yang berbasis cetak, tidak sampai kepada kelompok masyarakat yang jauh secara geografi, termasuk kepada kelompok masyarakat berkategori miskin, sedangkan layanan perpustakaan digital, meskipun secara teknis dimungkinkan, pada kenyataannya juga tidak bisa menjangkau kelompok masyarakat miskin ini; padahal kelompok pengguna (pemustaka) ini lebih membutuhkan layanan dibanding kelompok lainnya.
21. Layanan-layanan yang disediakan perpustakaan tidak cukup hanya yang bersifat memfasilitasi saja, namun harus sudah memulai dengan praktik layanan yang berbasis keterampilan dengan cara pendampingan. Artinya, kelompok masyarakat tertentu, terutama yang sangat membutuhkan informasi terkait penghidupannya, tidak cukup hanya disediakan dan diberi sejumlah buku dan media pustaka lainnya, akan tetapi mereka perlu dilayani secara tuntas dengan cara pendampingan. Artinya, mereka perlu dilayani secara “literasi pustaka” dan implementatif berbasis pendampingan, terprogram, terarah, terkoordinasi, dan terintegrasi dari semua aspek layanan perpustakaan.