SUKABUMIUPDATE.com – Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GBSI) mengajak seluruh pekerja di Kabupaten Sukabumi mengosongkan pabrik pada tanggal 2 hingga 5 Desember 2019 mendatang. Buruh Sukabumi akan bergabung dalam aksi bersama di Gedung Sate Bandung, menuntut Ridwan Kamil (RK) mencabut Surat Edaran Gubernur Jawa Barat tentang upah minimum kota dan kabupaten tahun 2020, dan menggantinya dengan surat keputusan.
Surat pemberitahuan aksi bersama dan mogok daerah (modar) ini sudah dikirimkan ke pemangku kebijakan di Kabupaten Sukabumi. “Surat pemberitahuan aksi per hari ini sudah kami kirimkan. Begitu juga dengn surat ajakan aksi bersama juga sudah kami kirimkan ke semua serikat buruh dan pekerja di Kabupaten Sukabumi,” jelas Dadeng Nazarudin, Ketua GBSI Kabupaten Sukabumi, Kamis (28/11/2019).
Menurut Dadeng, serikat pekerja dan buruh akan menyiapkan sedikitnya 10 unit bus yang akan mengangkut buruh Sukabumi menuju Bandung. Titik kumpul dan pemberangkatannya di halaman parkir Palagan Bojongkokosan Parungkuda pada tanggal 2 Desember 2019.
BACA JUGA: Dikecam Soal Surat Edaran UMK 2020, Emil Jawab Dengan Surat Cinta
“Sesuai agenda aksi bersama, tujuan unjuk rasa adalah Kantor Pemprov dan DPRD Jabar di Gedung Sate, dan rumah dinas Ridwan Kamil di Gedung Pakuan,” sambung Dadeng.
Penolakan terhadap SE Gubernur Jawa Barat tentang UMK 2020 ini akan dilanjutkan dengan Modar (mogok daerah) pada tanggal 3,4 dan 5 Desember 2019. “Seruannya kosongkan pabrik hingga Ridwan tuntutan dipenuhi, Emil mengubah penetapan UMK 2020 dari surat edaran menjadi surat keputusan.”
Ketua GSBI Kabupaten Sukabumi ini menilai alasan Emil lebih memilih surat edaran seperti ditulis dalam surat cinta untuk buruh yang diposting di akun media sosial, tidak dapat dibenarkan. “Alasan gubernur tidak masuk dalam subtansi persoalan yang ada. Harus dipisahkan soal SK UMK dengan nilai besaran UMK.”
BACA JUGA: Ridwan Kamil Sahkan UMK 2020 Lewat Surat Edaran, SPSI Sukabumi Ancam MODAR
Menurut Dadeng, SK adalah amanat undang undang, bahwa UMP dan UMK ditetapkan Gubernur. Sedangkan besaran nilai UMK berdasarkan pertimbangn dewan pengupahan kabupaten/kota, rekomendasi Bupati/wali kota dan dewan pengupahan provinsi.
“SE bukan bentuk ketetapan pemerintah sehingga akan mempersulit semua pihak termasuk pihak pengusaha. Gubernur menyerahkan nilai besaran upah terhadap buruh dan di masing-masing perusahaan tetapi dibayangngi oleh besaran nilai UMK dalam SE tersebut. Dengan demikian sama saja gubernur telah mengadu domba antara pengusaha dan buruh,” beber Dadeng.
“Gubernur seharunya melihat pengalaman tahun tahun sebelumnya, dengan penetapan UMK dengan surat keputusan pun oleh ketentuan aturan masih ada celah bagi pengusaha yang merasa keberatan melalui Kepmenaker RI Nomor 231 tentang penangguhan upah,” pungkasnya.