SUKABUMIUPDATE.com - Alun-alun di Sukabumi baik kota maupun kabupaten saat ini jadi spot wisata gratis gratisan bagi warga. Saat ramadan, warga banyak yang memanfaatkan fasilitas umum ini untuk ngabuburit atau menunggu waktu berbuka puasa.
Paling gres tentu alun-alun Kota Sukabumi yang belum lama diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Selain di kota, alun-alun ternyata hampir ada di setiap wilayah di Kabupaten Sukabumi, sebut saja alun-alun Cisaat, Cicurug, Palabuhanratu, Sagaranten, Jampangkulon, dan masih banyak lagi.
Kenapa banyak alun-alun di Sukabumi? Pemerhati sejarah menyebut alun-alun merupakan bagian tak terpisahkan dalam sejarah terbentuknya wilayah pemerintahan di Sukabumi. Bahkan jauh sebelum Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC Belanda datang, konsep alun-alun macapat sudah dibangun oleh pemerintahan kala itu priangan masih berada dibawah pengaruh Kerajaan Mataram.
"Mengingat, sejak pengaruh Mataram di Priangan, hampir semua pusat administrasi seperti kabupaten, distrik, bahkan kecamatan, memiliki alun-alun," jelas pemerhati sejarah Sukabumi, Irman Firmansyah dalam tulisan tentang sejarah alun-alun di Kota Sukabumi beberapa waktu lalu.
Menurut Irman konsep alun-alun yang dimaksud merupakan lapangan luas yang bisa digunakan pemerintah maupun masyarakat. Secara filosofi, ungkap Irman alun-alun ini berasal dari kata halon-halon, ibarat danau tenang dengan riak kecil, yang menyiratkan alun-alun sebagai tempat religius sekaligus sosial.
"Selain menyimbolkan kekuasan raja dan pengusaha. Pun, rakyat dapat berkegiatan seperti seni, budaya, bahkan bisa melakukan protes di alun-alun untuk bertemu dengan pemimpin," kata Irman kepada sukabumiupdate.com
Seperti halnya lapang merdeka dan Masjid Agung Kota Sukabumi, alun-alun di Sukabumi dibangun dengan konsep Macapat. Seperti umumnya kota-kota di Jawa pada masa itu menjadikan alun-alun sebagai pusat dengan empat penjuru mata angin: selatan tempat pemimpin, barat tempat beribadah, timur perumahan, dan utara tempat hiburan.
Masih kata Irman, saat masa awal pemisahan Afdeling (wilayah administratif pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda setingkat Kabupaten. Administratornya dipegang oleh seorang asisten residen. Afdeling merupakan bagian dari suatu karesidenan). Pada 1870, konsep Macapat dijalankan dengan dibangunnya rumah asisten residen sebagai pemimpin.
Era Kolonial dan Saat Ini
Tirto.id, mengutip Handinoto dalam makalah bertajuk “Alun-alun sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang” yang dimuat di Jurnal Dimensi (18 September 1992) menerangkan, alun-alun terbagi ke dalam tiga periode, yakni masa prakolonial, kolonial, dan era setelah kolonial.
Tiga pembelahan zaman ini terutama dibedakan oleh pergeseran konsep alun-alun. Kecenderungannya bergradasi dari sakral ke profan, seiring dengan perubahan kompleks
Setelah Belanda benar-benar menguasai Jawa pada abad ke-19, alun-alun mengalami sejumlah pergeseran makna. Meski demikian, para bupati yang bekerja di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial masih meneruskan warisan Mataram.
Di depan rumah bupati dibangun pendopo dan di alun-alun diadakan pelbagai acara seperti sodoran, grebegan, dan sebagainya. Warisan tradisional ini menarik pemerintah kolonial untuk mengembangkannya dalam sistem pemerintahan tidak langsung yang mereka jalankan.
Pemerintahan kabupaten yang dipimpin seorang asisten residen (orang Belanda) dan bupati (pribumi), dipusatkan di sekitar alun-alun. Jika rumah bupati dan pendopo berada di sebelah selatan, maka rumah asisten residen biasanya di sebelah utara alun-alun.
Pada masa itu di sekeliling alun-alun, selain rumah bupati dan pendopo, juga terdapat masjid, gedung pengadilan, penjara, pasar, kantor pos, halte kendaraan umum, kantor polisi, dan fasilitas lainnya.
“Sifat sakral alun-alun di zaman kolonial kemudian berkembang lebih merakyat. Pada zaman kolonial ini menjadi semacam ‘civic space’. Bahkan pada akhir zaman kolonial berkembang menjadi semacam plaza di Eropa,” catat Handinoto.
Saat kolonialisme berakhir, alun-alun kembali mengalami pergeseran makna. Menurut Handinoto, banyak pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan tata ruang kota ragu-ragu dan tidak mengerti fungsi alun-alun. Konsep ruang peninggalan zaman kerajaan itu digunakan begitu saja untuk kegiatan olahraga dan taman kota.
“Jadi seperti apa yang dilihat sekarang pada alun-alun kota, ingin meninggalkan pola tradisional, tapi belum menemukan struktur-struktur baru yang mantap,” tulisnya.
KONTRIBUTOR MAGANG: HANNI