SUKABUMIUPDATE.com - Disebut sebagai salah satu profesi terhormat yang memiliki penghasilan tinggi, beberapa orang di Pemilu 2019 ini memilih untuk menjadi Caleg. Antusiasme yang tinggi dari beberapa elemen memperlihatkan bahwa jabatan anggota DPRD masih dianggap sebuah profesi yang diinginkan hampir semua orang, apalagi kalau melihat fasilitas serba mewah yang didapat seorang anggota DPRD.
BACA JUGA: Cabuli Putri Kandungnya dari Umur 10 Tahun, Caleg PKS Akan Dicoret
Hal tersebut menuai komentar dari mantan anggota DPRD Kabupaten Sukabumi periode 1997-2004, Iwan Setiawan (68 tahun). Ia saat itu membawa bendera Partai Golkar mewakili Daerah Pemilihan V Kabupaten Sukabumi. Iwan membandingkan bagaimana kondisi anggota DPRD saat ini dengan anggota DPRD terdahulu, saat ia menjabat.
"Penghasilan serta fasilitas yang didapatkan oleh anggota DPRD ini berpedoman pada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2017. Mencakup uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan beras, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan alat kelengkapan dan tunjangan lainnya," kata Iwan kepada sukabumiupdate.com, Rabu (10/4/2019).
"Selain itu pimpinan dan anggota DPRD juga berhak atas tunjangan komunikasi intensif, dan tunjangan reses. Itu belum termasuk dengan beberapa program lain yang diterima anggota legislatif dalam perjalanan tugasnya," sambung Iwan.
BACA JUGA: Gagal Pemilu 2019, RS Bunut Sukabumi Siap Tangani Caleg Stres
Ia mengulas, antusias dan kondisi politik yang sudah banyak berubah saat ini, seakan berbanding terbalik dengan kondisi legislatif pada masa orde baru. Selain tidak ada fasilitas kendaraan, Iwan yang sempat terpilih selama dua periode ini mengaku, pada zamannya dulu tak pernah ada fasilitas perumahan dan kendaraan.
"Gaji anggota dewan pada saat itu tak lebih dari Rp 2,5 juta, tanpa fasilitas apapun. Dan saat itu reses pun saya memakai uang gaji sendiri, karena memang tunjangan yang kami dapatkan sangat minim. Saya dulu setiap mau rapat paripurna naik angkutan umum, dan kami semua menginap di kantor DPD karena boro-boro ada fasilitas hotel mewah seperti saat ini," imbuhnya.
BACA JUGA: Dialektika Caleg Mantan Aktivis Masihkah Kritis? - Bicara Soal Pemilih Pemula
Dari 50 lebih anggota DPRD Kabupaten saat itu, menurut Iwan, diseleksi oleh partai masing-masing. Prestasi internal dalam parpol serta keaktifan masing-masing caleg dalam lingkungan masyarakat menjadi penentu terpilihnya calon anggota DPRD saat itu.
"Dulu tak sembarang orang bisa menjadi anggota DPRD. Hanya mereka yang memiliki prestasi dan kekuatan dalam internal partai saja yang bisa menjadi Caleg. Sangat berbeda dengan sekarang, lebih gampang sepertinya," ungkapnya.
Kakek lulusan Institut Islam Siliwangi angkatan tahun 1967 itu merupakan sarjana pertama di daerah Sagaranten. Ia mengulas, pada zaman orde baru strategi politik terbilang sangat rapi dan cantik. Beda halnya dengan kondisi politik saat ini yang sangat sarat dengan money politik.
"Strategi kami saat itu berlaku strategi tiga jalur . Jalur A meliputi ABRI, B meliputi Birokrasi, kemudia G-nya Golkar. Dan beda jauh dengan strategi politik saat ini yang menurut saya sangat serampangan," paparnya.
BACA JUGA: Dialektika Caleg Mantan Aktivis Masihkah Kritis? - Menakar Sebab Minimnya Partisipasi Pemilih
Strategi politik yang apik pada zaman orde baru menurut Iwan menjadi pembeda dengan kondisi politik saat ini. Sehingga menurutnya dunia politik sekarang kental unsur money politik. Dan tentunya money politik yang kental akan sangat berpengaruh dengan dana kampanye yang membengkak.
"Saya sudah tidak terlalu memantau dunia politik, namun sesekali saya perhatikan sepertinya zaman sekarang sangat mudah menjadi Caleg. Terlebih punya modal dana yang besar. Namun harus ingat sebagai wakil rakyat fungsi utama anggota legislatif itu mendengar dan menyampaikan aspirasi rakyat. Jangan sampai tujuannya hanya untuk mendapatkan gaji yang besar, tunjangan dan fasilitas saja," pungkas Iwan.