SUKABUMIUPDATE.com - Pegiat pemekaran Kabupaten Sukabumi Selatan (Jampang / Pajampangan) meminta perintah daerah dan DPRD Kabupaten Sukabumi tidak terburu-buru dalam usulan DOB (Daerah Otonomi Baru), dengan menggiring opini harus KSU (Kabupaten Sukabumi Utara). Sebelumnya Ketua DPRD Kabupaten Sukabumi, Agus Mulyadi meminta semua pihak paham yang paling berpeluang untuk diajukan dalam usulan DOB sesuai permintaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat adalah Kabupaten Sukabumi Utara.
Menanggapi pernyataan ketua DPRD kabupaten Sukabumi ini, pegiat pemekaran Jampang Henda Pribadi atau biasa disapa Pahe, menegaskan pernyataan tersebut cendrung diskriminatif. Idealnya, lanjut Pahe, sebagai ketua DPRD, Agus bersikap normatif saja.
BACA JUGA: Soal Pemekaran Jampang, Aktivis Sebut Bupati Sukabumi Keliru
“Seharusnya diserahkan saja pada mekanisme, lihat saja Bogor Timur, Bupati Bogor dan Ketua DPRD Bogor, itu normatif, baik kepada pejuang pemekaran Bogor Barat, maupun pejuang pemekaran Bogor Timur, Bupati dan Dewan mempersilahkan asalkan memenuhi persyaratan, secara normatif sesuai dengan amanat UU No 23 tahun 2014 atau regulasi desain penataan daerah," jelasnya.
Menurut Pahe yang harus diperjelas itu kapasitas Agus Mulyadi berbicara apa sebagai warga Sukabumi Utara atau kapasitas sebagai Ketua DPRD Kabupaten Sukabumi. “Pernyataan tersebut mencederai kami yang memperjuangkan pemekaran Pajampangan," tandasnya.
BACA JUGA: Pemekaran Berlanjut, Ketua DPRD: Sukabumi Utara Dulu Baru Pajampangan
Point kedua lanjut Pahe, terkait statmen Sukabumi Utara lebih siap patut dipertanyakan konteksnya karena ada dua kajian, pertama 2006 dari UNPAD dan tahun 2008 oleh Pemda.
“Sementara kehendak perundang-undangan baru kajian itu minimal lima tahun, berarti kajian itu harus dibuktikan sekurangnya kurangnya tahun 2014 – 2015. Dengan penyesuaian UU yang baru yang harus dikaji itu bukan mendorong Sukabumi Utara atau Pajampangan Sukabumi Selatan, namun idealnya membuat kajian baru, tentang penataan daerah, sesuai amanat UU baru dan surat Gubernur tanggal (1/7/2019),” sambung Pahe.
Artinya keinginan mendorong harus KSU atau harus KSS (Jampang) tanpa kajian baru melanggar perundang-undangan,” pungkas Pahe.