SUKABUMIUPDATE.com - Arus laut Pantai Selatan Jawa kembali menelan korban. Salah satu musibah terbaru menimpa 24 orang anggota Kelompok Tunggal Jati Nusantara yang sedang melakukan kegiatan ritual di Pantai Payangan Kabupaten Jember, Jawa Timur, Minggu (13/2/2022) lalu. BMKG menyebut, peristiwa tersebut disebabkan oleh fenomena ilmiah yang disebut 'Rip Current'.
Saat mereka melakukan kegiatan ritual meditasi, tiba-tiba para jemaah itu terseret ombak Laut Selatan, akibatnya, sebanyak 11 orang dinyatakan meninggal dunia.
Dikutip dari rilis resmi BMKG yang didapatkan redaksi sukabumiupdate.com melalui Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono mengatakan, musibah semacam ini sebenarnya hanyalah bagian kecil dari daftar panjang korban jiwa karena terseret arus laut Pantai Selatan Jawa.
Daryono menghimbau, rentetan musibah ini sepatutnya mendapat perhatian serius dari pemeritah daerah dan masyarakat, mengingat hampir setiap tahun selalu saja terjadi kasus serupa.
"Entah sudah berapa banyak warga masyarakat dan wisatawan menjadi korban keganasan arus laut Pantai Selatan," tulis Daryono.
Ia menuturkan, sebagian masyarakat pesisir Selatan Jawa menyebut arus laut yang sering menyeret korban ke tengah laut ini sebagai 'alun serot'.
Dalam hal ini kata "alun" artinya ombak dan “serot” adalah sedot, maksudnya ombak (sesungguhnya arus) yang bisa menyedot (orang).
"Sedangkan dalam dunia sains, fenomena alam mematikan ini disebut 'rip current'," kata Daryono.
Mengenal Karakteristik Arus
Menurut Daryono, jika memperhatikan morfologi Pantai Payangan Jember yang berbentuk teluk, maka diduga kuat musibah yang terjadi sangat mungkin diakibatkan arus 'rip current'.
Apalagi menurutnya, jika dicocokkan dengan waktu kejadian bersamaan dengan waktu pasang dan berdasarkan informasi dari BMKG, tinggi gelombang saat kejadian mencapai sekitar 2-2,5 meter.
Ia menilai, kurangnya pemahaman masyarakat mengenai karakteristik dan bahaya arus laut di pantai menjadi faktor utama terus berulangnya korban jiwa terseret arus laut.
Lanjutnya, di Jawa sendiri berkembangnya mitos dan cerita rakyat 'Nyai Roro Kidul' bahwa Laut Selatan sering meminta korban.
"Ini sesunggunya hanyalah bentuk ketidakmampuan masyarakat dalam menjawab fenomena alam pantai yang mematikan dan sering terjadi secara berulang," ucap Daryono.
Daryono berkata, sebenarnya masyarakat dapat terhindar dari bahaya arus laut asalkan mau memahami karakteristik dan mekanisme terbentuknya arus berbahaya ini.
"Karena fenomena derasnya arus pantai merupakan gejala alam biasa dan dapat dijelaskan secara ilmiah," ujarnya.
Ia menjelaskan, salah satu bentuk bahaya pantai yang berupa teluk adalah adanya 'rip current'.
Tentang 'Rip Current'
Daryono menerangkan, definisi 'rip current' ialah arus balik yang terkonsentrasi pada sebuah jalur sempit yang memecah zona empasan gelombang hingga melewati batas zona gelombang pecah.
Ia menuturkan, secara fisis 'rip current' terbentuk jika gelombang laut datang dan menghempas garis pantai yang berbentuk teluk atau cekungan. Adanya banyak pantulan muka gelombang yang mengenai 'busur teluk' akan memunculkan sejumlah arus susur pantai yang bertemu dan memusat di tengah-tengah 'busur teluk'.
Lanjutnya, arus susur yang saling bertemu di pusat busur teluk ini selanjutnya bergabung menimbulkan sebuah arus balik menuju ke tengah laut yang mengumpul pada suatu jalur arus yang sempit hingga melewati batas zone gelombang pecah. Arus ini bergerak dalam energi sangat kuat dengan kecepatan tinggi.
"Inilah 'rip current' yang menjadi biang keladi dari sederet daftar korban meninggal dan orang hilang terseret arus di pantai sejak zaman dahulu," tegasnya.
Ia memaparkan, ada beberapa hal penting untuk diketahui agar dapat memahami karakteristik arus ini. Rip current terdiri atas beberapa bagian arus, seperti arus pengisi, leher arus dan kepala arus.
Arus pengisi tersusun atas beberapa arus susur pantai hasil pantulan beberapa muka gelombang, kemudian bertemu, mengumpul dan berbelok arah menuju tengah laut. Leher arus merupakan sebuah jalur yang sempit, mengalir sangat deras dan kuat yang juga menuju ke tengah laut.
Saking kuatnya aliran leher arus ini bahkan mampu mengalahkan terjangan gelombang yang datang. Arus ini meluncur dengan kecepatan tinggi, hingga mencapai kecepatan 80 kilometer/jam.
"Kepala arus adalah bagian 'rip current' yang arah arusnya mulai melebar karena kekuatannya yang sudah mulai melemah, selanjutnya hilang di terpa gulungan gelombang laut," paparnya.
Ia melanjutkan, karena gerakan 'rip current' ini berlangsung sangat cepat dan singkat, maka orang yang terjebak dan terseret arus ini sangat sulit untuk melepaskan diri hingga seolah terseret ke tengah laut.
"Inilah sebabnya mengapa arus ini banyak memakan korban jiwa," ungkapnya.
Lanjut kata Daryono, pada beberapa kasus kejadian 'rip current', meskipun air laut tidak terlalu dalam hanya sebatas lutut, seseorang sudah dapat mengalami serangan arus ini.
Kondisi ini terjadi jika arus susur pantai yang telah bergabung dengan tiba-tiba menyebabkan dasar pasir tempat berpijak tergerus arus hingga habis. Karena pasir tempat berpijak habis terbawa arus, maka orang yang terjebak dalam arus ini merasa seolah-olah dirinya jatuh ke dalam lobang.
"Selanjutnya tenggelam diseret oleh badan arus yang mengalir kuat menuju ke tengah laut," ucapnya.
Mitigasi Bencana 'Rip Current'
Daryono mengatakan, musibah Pantai Payangan Jember memberi pelajaran penting bagi semua pihak akan pentingnya mitigasi bencana 'rip current'.
Ia mengingatkan, lokasi 'rip current' tergantung kepada arah datangnya gelombang laut, maka lokasi-lokasi pantai yang rawan 'rip current' dapat dikenali. Setelah mengenali dan menetapkan lokasi rawan, selanjutnya petugas penyelamat pantai segera menempatkan bendera peringatan larangan mandi di laut disertai pengawasan ketat dan tindakan pencegahan mandi di zona berbahaya.
Menurutnya, ada banyak kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka upaya mitigasi 'rip current'. Ia menjelaskan, diantaranya yaitu penguatan pengetahuan mengenai bahaya arus ini dapat dilakukan dengan melakukan sosialisasi kepada Tim SAR, petugas penyelamat pantai, pengelola wisata, pedagang dan masyarakat setempat.
"Dengan memahami karakteristik dan bahaya 'rip current', semua pihak diharapkan ikut berperan aktif dalam upaya mitigasi bencana arus laut ini," ujarnya.
Ia menambahkan, di samping perlunya peningkatan fasilitas penyelamatan pantai, secara berkala perlu dilakukan pelatihan khusus teknik-teknik penyelamatan korban 'rip current' bagi para petugas penyelamat pantai dan Tim SAR.
Menurut Daryono, hal ini penting karena mereka adalah barisan terdepan yang bertugas melakukan usaha penyelamatan dan pencarian korban, sehingga wajib bagi mereka memahami seluk beluk bahaya arus ini secara lebih mendalam.
Masih kata Daryono, perlu adanya sosialisasi singkat bahaya arus 'rip current' kepada setiap rombongan masyarakat atau wisatawan yang baru datang dan akan 'mandi' di pantai.
"Terobosan sosialisasi ini tampaknya akan sangat efektif jika dilakukan mengingat kebanyakan para korban arus ini adalah para wisatawan dari luar daerah yang sangat awam mengenai kondisi pantai setempat," pungkasnya.