SUKABUMIUPDATE.com - Untuk menjaga keseimbang alam, raja sunda Sri Jayabupati atau Prabu Detya Maharaja melarang warganya menangkap ikan di aliran sungai Cicatih. Dari hulu di lereng gunung salak hingga ke wilayah Cibadak, jadi area suci atau larangan..
Kawasan ini kemudian dikenal dengan kabuyutan sanghyang tapak. Baru-baru ini, keberadaannya ditelusuri oleh para pegiat sejarah sunda, dalam sarasehan cerdas berbudaya "makna prasasti sanghyang tapak dalam perspektif ruang dan waktu", di Balai Kota Bogor, 23 Juli 2022.
Merangkai kembali jejak kerajaan sunda berdasarkan 4 prasasti yang ditemukan di aliran sungai Cicatih Kabupaten Sukabumi ini juga dilakukan dengan mendatangi situs-situsnya pada 24 Juli 2022. Tim dari yayasan Dapuran Kipahare, Disbudpora Sukabumi, Bestdaya dan para budayawan Nusantara melakukan napak tilas Sanghyang Tapak di sungai Cicatih.
"Mengurai sejarah Karuhun dan kabuyutan cibadak dengan konsep keseimbangan alamnya. Mulai dari batas dan penanda, temuan batu sabak di Leuwi kalabang. Cicatih sebagai air suci di masanya seperti juga Gangga di India, dan kaitan dengan beberapa lokasi yang dikeramatkan di sekitar kabuyutan," ungkap Irman Firmansyah, Pendiri yayasan Dapuran Kipahare, yang ikut dalam kegiatan tersebut.
Kedatangan tim ke aliran sungai Cicatih Cibadak, untuk memastikan batas timur dari sanghayang tapak yang dalam prasati cibadak ditandai dengan dua batu besar.
"Warga Cibadak di aliran Cicatih menyebut dua batu besar itu dengan nama batu karut. Bahkan nama kampungnya Batu Karut perbatasan Leuwi kalabang di Kecamatan Cibadak," jelas lanjut Irman.
Kepada sukabumiupdate.com, Rabu 27 Juli 2022, ia menegaskan berdasarkan prasasti cibadak yang sekarang tersimpan di Museum Nasional, Sri Jaya Bupati menetapkan kabuyutan sanghyang tapak sebagai kawasan suci. Tidak boleh tidak dijamah oleh penduduknya waktu itu, termasuk menangkap atau memancing ikan.
"Ya area suci kabuyutan sanghyang tapak itu nggak boleh diambil ikannya, keseimbangan alam. Dari hulu sungai di sekitar lereng perbakti Gunung Salak hingga batas dua batu besar di Cicatih sebagai batas hilir atau timur kabuyutan. Setelah batas itu, sungainya boleh dimanfaatkan. Dari sini bisa kita tebak bahwa sekitar kabuyutan jarang penduduknya dan saat itu ada larangan untuk aktivitas warga," beber Irman.
Sayang ada warga setempat (Cibadak), yang tahu atau punya cerita soal larangan itu di hulu batu karut sungai Cicatih Cibadak. Namun Irman menegaskan masih banyak tempat yang dikeramatkan oleh warga di sepanjang aliran Cicatih, "warga setempat juga bercerita tentang seringnya kejadian orang mancing yang palid atau hanyut dan tenggelam di sekitar area batu karut."
Tentang Sri Jayabupati.
Mengutip narasi dari sarasehan cerdas berbudaya "makna prasasti sanghyang tapak dalam perspektif ruang dan waktu", di Balai Kota Bogor, 23 Juli 2022, sejarah Sri Jayabupati atau Prabu Detya Maharaja diketahui setelah Pleyte menemukan prasasti Cibadak. Kemudian Pleyte menulis artikel "Maharaja Cri Jayabupati Soenda's Outdst Bekend Vorst", dengan mengetengahkan transkip mengenai “Prasasti Cibadak”. (RPMSJB, Buku Ketiga, hal 10).
Sebelum ditemukannya prasasti Cibadak, sejarah di tatar Sunda seakan-akan berhenti tidak diketahui ujungnya, sehingga penemuan prasasti Cibadak menemukan arah yang jelas tentang kekuasaan di tatar Sunda pada masa lalu.
Pada masa raja-raja waktu itu seolah-olah Sunda kehilangan catatan sejarah. Baru diketahui jujutannya kembali pada Masa Sri Jayabupati atau Prabu Detya Maharaja, raja Sunda ke-20 dari alur Tarusbawa. Keberadaan Sri Jayabupati terungkap setelah Pleyte (1915 M) menemukan prasasti Cibadak di Cicatih Sukabumi.
Prasasti Cibadak terdiri dari 4 buah batu bertulis yang ditemukan di aliran Sungai Citatih. 1 batu ditemukan di kampung Pangcalikan, sedangkan 3 batu ditemukan di Bantar Muncang, Kecamatan Cibadak, Sukabumi. Menurut para ahli sejarah, prasasti tersebut dibuat pada tanggal 11 Oktober 1030.
Terjemahan dari prasasti tersebut pada intinya, berkisah tentang:
Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana mandaleswaranindita Haro Gowar dhana Wikramottung gadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak.
Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah kabuyutan Sanghyang Tapak sebelah hulu sampai batas daerah kabuyutan sanghyang tapak dibagian hilir pada dua buah batu besar.
Untuk tujuan tersebut telah dibuat piagam yang dikukuhkan dengan seruan, kutuk serta sumpah oleh raja Sunda.
Jika ada hamba yang setia mematuhi ketentuan tersebut akan dianugerahi hadiah dan dicukupi pangannya seumur hidup
Prasasti Cibadak menerangkan bahwa Sri Jayabupati membuat tapak disebelah timur kabuyutan sanghyang tapak. Dibagian sungai yang menjadi batas daerah kabuyutan tersebut orang dilarang menangkap ikan.
Mungkin pada saat itu penduduk di sekitar prasasti sangat taat terhadap keyakinannya dan sangat takut terhadap kekuatan gaib, sebagaimana ciri masyarakat agraris lainnya, sehingga tanpa hukum kerajaan pun mereka akan taat dan mengikuti himbauan tersebut.
Baca Juga :
Menurut naskah Wangsakerta, tanda tersebut memang dibuat oleh Sri Jayabupati sebagai tanda penobatannya. Sri Jayabhupati dikenal-kenal memerintah Sunda pada tahun 1030 – 1042 masehi, ia putra Sanghyang Ageung yang dipusarakan di Situ Sanghyang.
Dalam menjelaskan Sri Jayabupati, menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 – 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, namun juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa.