SUKABUMIUPDATE.com - Pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi UU berbuntut aksi penolakan dari berbagai kelompok masyarakat, terutama mahasiswa. Hingga saat ini, mahasiswa masih melakukan aksi demo.
Mengapa mahasiswa menolak UU Cipta Kerja yang mencakup 11 klaster ini? apa saja alasannya? Lalu setelah rentetan aksi ini apa upaya selanjutnya? Berikut hasil diskusi dengan Ketua Umum HMI Cabang Kabupaten Sukabumi Yanggimas Anggara dalam acara Tamu Mang Koko Edisi 27 Oktober 2020 di kantor sukabumiupdate.com.
Apa sebetulnya ketentuan-ketentuan yang menjadi alasan ditolaknya Omnibus Law UU Ciptaker ini oleh mahasiswa?
Karena memang Omnibus Law ini metode bagaimana nanti melahirkan kebijakan Undang-Undang Cipta Kerja. Ini memang tidak menjadi alternatif dari kebutuhan hukum rakyat di Indonesia.
Ada 11 klaster di Omnibus Law Ciptaker, kalau isu strategis yang mencolok bagi HMI ini apa?
Kenapa tadi di awal tadi saya sebubutkan tidak menjadi alternatif, karena terdapat pasal-pasal yang memang tidak pro rakyat. Selain dari ketenagakerjaan, karena memang kami fokus dari awal dalam wilayah kluster pendidikan dan kebudayaan. Disini (omnibus law UU Cipta Kerja) ada komersialisasi pendidikan. Di Ayat 1 Pasal 65 ini adalah menyebutkan perizinan, jadi ini tentang legitimilasi, tentang sertifikasi dan juga tentang kualifikasi.
Perizinan mendirikan lembaga pendidikan ini harus bersifat usaha. Jadi pendidikan ini dielaborasikan dengan membuka peluang usaha, tanpa pasal itu pun sebetulnya pendidikan yang menganut undang-undang yang karakterisitiknya Civillaw ini sudah terjadi komersialisasi pendidikan.
Apalagi ditambah hari ini perizinan harus bersifat usaha, karena presiden disitu mengusulkan dan presiden memiliki cita-cita pendidikan ini masuk ke wilayah KEK atau kawasan ekonomi kreatif. Terlebih (untuk) guru, disini (Undang-Undang Cipta Kerja) tidak yang memang secara detail membahas yang menjamin bagaimana kehidupan guru (honorer).
Yang menjadi persoalan di (Undang-Undang Cipta Kerja) kluster pendidikan dibuka selebar-lebarnya untuk pendidik asing tanpa adanya kualifikasi, sertifikasi. Jadi kalau kita melihat bagaimana sisdiknas ini dijalankan oleh pendidikan Indonesia dari guru hononer untuk menjadi guru itu kan ada tahapan-tahapan yang dilalui, dari sertifikasinya dan kualifikasinya seperti apa. Berarti hari ini tumpang tindih, kalau sekarang dibuka selebar-lebarnya untuk pendidik asing dan tanpa kualifikasi itu. Dan juga tidak ada prinsip dasar yang memperhatikan guru di Indonesia ini.
UU Ciptaker ini ada 11 klaster, apakah kemudian mahasiswa ini menolak semua klaster ini atau sebagian?
Saya ingin merunut dulu, secara prosedural ini cacat hukum. Kalau pun omnibus law ini ditolak hanya pasal-pasal yang bermasalah berarti nanti ada kesulitan ketika kita mendorong MPR dan juga kita mendorong Presiden, artinya ini harus bagaimana teknisnya. Jadi mau tidak mau karena metode omnibus law ini sudah tidak menjadi alternatif dari produk hukum yang dibutuhkan oleh negara ini, dalam artian juga bukan HMI disini mendukung mempergunakan perundang-undang yang karateristiknya civil law, tapi disini ada tidak i'tikad baik dari presiden.
UU Ciptaker ini harus dibatalkan karena memang di 11 klaster itu tidak teridentifikasi terus juga warnanya Chameleon, karakteristik UU Ciptakerja ini preseden.
Karena tadi menolak secara keseluruhan omnibus law ini maka teman-teman himpunan ini sudah bersepakat untuk mendorong MPR untuk membuat TAP MPR, tapi ada konsekuensi dan juga ada syarat, kita terus melakukan aksi unjuk rasa dan mosi tidak percaya, karena memang nanti TAP MPR ini akan diberikan karena pertimbangan itu.
Simak diskusi selengkapnya di acara Tamu Mang Koko Edisi 24 Oktober 2020 disini.