SUKABUMIUPDATE.com - Gelombang penolakan terhadap pengesahan UU Cipta Kerja datang dari sejumlah kalangan. Tidak hanya buruh dan mahasiswa, reaksi penolakan juga datang dari para aktivis pertanian.
Mereka menganggap UU Cipta Kerja akan meningkatkan ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria di Indonesia. Selain itu, UU Cipta Kerja juga dianggap akan mempermudah pelepasan hak atas tanah demi pengadaan lahan untuk kepentingan infrastruktur dan bisnis.
Namun betulkah demikian? Atau sebaliknya, UU Cipta Kerja justru akan meningkatkan nilai investasi di sektor pertanian? Lalu bagaimana masa depan petani dalam UU Cipta Kerja ini? Berikut hasil diskusi dengan Ketua DPW Serikat Petani Indonesia (SPI) Jawa Barat Tantan Sutandi dalam acara Tamu Mang Koko Edisi 17 Oktober 2020 di kantor sukabumiupdate.com.
Ketentuan apa saja yang menjadi alasan SPI menolak dan meminta pembatalan UU Cipta Kerja?
Kita memang SPI dengan tegas menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja ini. Sebelum ada RUU Cipta Kerja, ada RUU Pertanahan dan UU Minerba yang sekarang sudah disahkan. 2019 itu kita beberapa kali melakukan aksi penolakan terhadap RUU Pertanahan. Hari ini yang ada di UU Cipta Kerja itu merupakan apa yang dulu kita tolak di RUU Pertanahan.
Dalam salah satu catatan kami di UU Cipta Kerja, ada Bank Tanah yang kita nilai sarat dengan kepentingan investor dan mengabaikan hak-hak rakyat kecil, termasuk petani dan nelayan. Kemudian UU Cipta Kerja ini juga bertabrakan dengan yang sudah diputuskan di Mahkamah Konstitusi (MK), salah satunya UU Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014. Di sana ada kewajiban dari pihak perkebunan yang sekarang dihapuskan di UU Cipta Kerja.
Bukankah pemerintah mengatakan sudah melibatkan elemen petani dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja ini?
Kita tidak dilibatkan dalam waktu pengajuan usulan untuk pembahasan itu.
Saya ingin menegaskan, apakah Anda menolak semua klaster di UU Cipta Kerja ini atau hanya pada klaster yang berkaitan dengan pertanian?
Tentu kawan-kawan dari pergerakan itu akan sesuai bidangnya masing-masing. SPI menolak untuk yang bidang pengadaan lahan karena memang bertabrakan dengan UUD 1945. Kemudian kita melihat penolakan bukan hanya dari petani, tapi juga ada teman-teman yang lain.
Kondisi petani di Kabupaten Sukabumi sebelum ada UU Cipta Kerja ini seperti apa?
Kondisi petani kita sangat mengkhawatirkan. Lahan yang dikuasai satu petani kita itu masih di bawah 0,5 hektar. Sukabumi ini kan sudah melakukan redistribusi lahan, pada tahun 2017 dan 2018 ada yang di Kecamatan Kabandungan dengan rata-rata hanya 0,3 hektar. Lalu 2019 di Kecamatan Warungkiara dengan rata-rata hanya 0,2 hektar. Itu sangat tidak memungkinkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani kita di sini.
Selain itu, untuk urusan pangan di UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan masih ada proteksi untuk petani dalam negeri. Tapi di UU Cipta Kerja itu dihilangkan. Jadi impor pangan ini mau tidak mau akan bebas masuk ke negara kita. Pertanyaannya, apakah petani kita sudah sanggup bersaing dengan hasil pertanian dari luar negeri? Terlebih cost-nya jauh lebih rendah dengan produk pertanian kita.
Simak diskusi selengkapnya di acara Tamu Mang Koko Edisi 17 Oktober 2020.
Ingat pesan ibu:
Wajib 3M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun). Redaksi sukabumiupdate.com mengajak seluruh pembaca untuk menerapkan protokol kesehatan Covid-19 di setiap kegiatan.