SUKABUMIUPDATE.com - Pengesahan Omnibus Law rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi Undang-undang mendapat reaksi penolakan dari aktivis petani. Hal ini terjadi karena adanya kluster pertanian di Undang-Undang tersebut.
Aktivis petani menganggap UU Cipta Kerja ini meningkatkan ketimpangan pengusaan tanah dan konflik agraria. Selain itu mempermudah pelepasan hak atas tanah atas nama pengadaan lahan untuk kepentingan infrastruktur dan bisnis.
Betulkah demikian, atau sebaliknya UU Cipta Kerja ini malah akan membuat peningkatan investasi di sektor pertanian, berikut wawancara dengan praktisi pembangunan pertanian Ir. Luwarso dalam acara Live Tamu Mang Koko, Sabtu (17/10/2020).
Sebelum UU Cipta Kerja, apakah kebijakan dan peraturan pertanian selama ini sudah betul-betul berpihak kepada petani?
Saya kira belum, yang jelas secara umum struktur dari pola pembangunan kita itu menempatkan petani sebagai objek. Kita lihat dari semua peraturan yang dibuat, baik peraturan tentang pembenihan, peraturan pemerintah tentang subsidi petani, semuanya itu menempatkan petani sebagai objek bukan subjek.
Kalau saya berhubungan dengan undang-undang ini, ada sebagian yang memang, bukan setuju tidak setuju, tapi dalam kata lain memberikan suatu peluang yang sifatnya distraksi inovasi bagi petani itu sendiri.
Saya juga memahami bagaimana pemerintah itu sudah terlanjur menandatangani atau ratifikasi tentang World Trade Organization (WTO), salah satunya adalah bagaimana bahwa impor kita itu tidak bisa dibatasi oleh regulasi.
Kalau tidak salah, (dalam) Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 memang menyebutkan importasi pangan kita menjadikan second opinion manakala produksi dalam negeri dan ketahanan pangan kita itu belum membutuhkan. Artinya ada klausul kedaruratan.
Kalau yang sekarang nggak, disebutkan bahwa ketersediaan pangan itu meliputi produksi dalam negeri, cadangan pangan dan impor.
Artinya dengan ratifikasi WTO itu barang ekspor itu bebas masuk ke Indonesia, tidak boleh ditolak?
Bukan tidak boleh ditolak, jadi kompetitif itu pada harga. Jadi kalau selama harga itu masih bisa dijual di Indonesia, tidak boleh kita membatasi apalagi menjumping harga ataupun menaikan bea masuk.
Memang problem kita, kompetitif price kita untuk harga pokok sangat rendah, kita itu termasuk penyedia produksi pangan tertinggi di dunia. Bayangkan saja beras Vietnam Rp 5.700, sampai Indonesia. Itu beras Vietnam kualitas terbaik di sana. Sementara kita saja beras yang medium sudah Rp 8.700.
Di Kabupaten Sukabumi, produktifvitas padi tahun 2014, 1 hektar menghasilkan 6,440 ton. Kemudian tahun 2018 itu hanya 6,042 jadi 0,398 ton hilang dalam 1 hektar. Luas tanah 2015 yaitu 66.692 hektar kemudian 2019 64.078 hektar, berkurang 2.614 hektar.
Lalu rumah tangga usaha pertanian tahun 2013 yaitu 291.754, tahun 2018 menjadi 280.570, maka berkurang 11.184.
Presentase kontribusi bidang pertanian terhadap PDRB Kabupaten Sukabumi pun menurun, tahun 2010 yaitu 25,1 persen kemudian tahun 2018 yaitu 22,25 persen jadi menurun 2,85 persen. Apa penyebab sebetulnya sampai data-data menunjukan penurunan?
Usaha dibidang sektor pertanian dalam posisi kurang menguntungkan menjadi tidak menarik otomatis banyak yang beralih profesi. Secara umum Kabupaten dan Kota Sukabumi itu bukan profesi, tapi sampingan.
Disamping itu memang di Kota dan Kabupaten Sukabumi, tata ruangnya itu ditentukan berdasar apa. Saya melihat alih fungsi lahan merajalela. Perumahan yang ada di Sukabumi, terutama di lingkungan jalan-jalan kota itu pasti berawal dari sawah. Saya tidak tahu alasannya kayak apa, prosedurnya apa ditempuh dengan baik atau bagaimana. Padahal kalau saya melihat harga sawah itu luar biasa. Taruhlah 1 meter Rp 25 Juta saja tidak cukup untuk membentuk sawah seproduktif sawah Sukabumi.
Karena untuk cetak sawah saja untuk bisa berproduksi 5 ton saja itu membutuhkan waktu 25 tahun dan itu harus ditanami terus menerus. Artinya ada investasi yang dilakukan nenek moyang kita terhadap sawah ini. Saya tidak tahu kenapa tidak ditetapkan saja sawah itu tidak boleh alih fungsi, boleh diperjualbelikan tapi tidak boleh dialih fungsikan.
Tidak seperti negara lain, bahwa ada proteksi sosial dan proteksi regulasi terhadap usaha tani. Misalnya tidak dibedakan antara tanah yang ditanam dengan tanah yang tidak ditanami, itu juga PBB-nya sama saja. Kemudian juga kita bawa barang hasil pertanian sama bawa barang (lainnya) juga tidak punya insentif apa-apa.
Kalau di negara lain tentang proteksi pertanian seperti apa?
Di Taiwan, saya hampir 2 tahun disana, tidak ada pajak kendaraan untuk angkut pupuk. Bahkan seandainya kendaraan yang bawa pupuk tabrak orang, itu tidak boleh distop. Sampai dulu baru diurus. Di Thailand juga begitu.
Kemudian dari regulasi perbankan, di negara-negara lain kalau kita menanam pangan itu nol persen bunganya. Kemudian perbankan mau mengeluarkan stanby lone 30 persen harus untuk sektor pertanian. Mereka (perbankan) nyari petani yang mau itu, karena apabila perbankan mau membiayai properti, sebelum memenuhi 30 persen, (bank) tidak bisa (biayai properti).
Soal HGU yang informasi dalam UU Cipta Kerja di klaster pertanian menjadi 90 tahun, apa ini akan membuat petani terpuruk atau tidak?
Saya belum membaca dengan seksama tentang perpanjangan hak konsesi. Dengan adanya protokol tentang bank tanah, ini diberikan kepada perusahaan-perusahaan ataupun pemegang konsensi yang punya komoditas jangan panjang, seperti karet, kelapa sawit yang investasinya besar. Yang kedua mungkin, dilatarbelakangi oleh posisi adminstrasif yang memang kalau saya melihat dalam perpanjangan HGU itu rumitnya minta ampun. Dari mulai adanya rekomendasi bupati kemudian ada macam-macam tim, itu juga mungkin sebagian akan memberikan (pengeluaran) ekonomi berbiaya tinggi.
Itu sisi kajiannya, karena UU ini mengakomodir antara pengusaha dengan masyarakat dalam hal ini masyarakat petani, haknya sama-sama pengguna tanah. Kalau saya mungkin kita coba lihat, yang dimaksud dengan perkebunan yang boleh menerima hak 90 tahun itu bagaimana. Kemudian evaluasi tidak mungkin 90 tahun langsung. Saya kira mungkin harus kita detailkan kriteria.
Apakah dengan UU Cipta Kerja bisa menjawab daya saing hasil pertanian kita dengan negara lain?
Selama (ada aturan) minimal perpres yang membuat suatu ekosistem usaha pertanian itu menjadi ekonomis, saya kira tidak masalah. Kita juga harus berani berkompentisi. Ada aturan yang memang membuat ekosistem dan bisnis model itu bisa berjalan dengan baik, itu lah nanti peran daripada pemerintah di dalam keberpihakanya di dalam ekosistem.
Bayangkan, ada satu daerah di Sukabumi itu ongkos transportasi (mengangkut hasil pertanian) sampai ke jalan itu Rp 500 perak per kilo. Itu bagaimana pembuatan jalan produksinya, kemudian irigasi.
Kalau lihat dari RPJMN 2020-2024 sudah ada di nomenklatur namanya korporasi petani, tapi cantolan hukumnya tentang kelembagaan belum ada, jadi hanya berupa pembiayaan saja. Tapi kewajiban pemerintah memasukan unsur kepeduliannya dia terhadap korporasi ini belum ada, hanya berupa budget-budget saja.
Kalau ada perpres khusus, tadi tentang bagaimana kelembagaannya, bagaimana tentang kewajiban anggaran untuk membuat suatu ekosistem atau fasilitas sarana dasar untuk mendukung korporasi ini harus ada aturan.
Untuk acara Tamu Mang Koko, saksikan selengkapnya disini