SUKABUMIUPDATE.com - Rancangan Undang-undang Cipta Kerja telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) melalui rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020). Sedikitnya ada 79 UU dengan 1.244 pasal yang direvisi sekaligus melalui beleid sapujagat ini.
Omnibus Law mencakup 11 klaster dari 31 kementerian dan lembaga terkait. 11 klaster tersebut adalah: 1) Penyederhanaan Perizinan, 2) Persyaratan Investasi, 3) Ketenagakerjaan, 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM, 5) Kemudahan Berusaha, 6) Dukungan Riset dan Inovasi, 7) Administrasi Pemerintahan, 8) Pengenaan Sanksi, 9) Pengadaan Lahan, 10) Investasi dan Proyek Pemerintah, dan 11) Kawasan Ekonomi.
Pengesahan UU Cipta Kerja ini langsung memicu gelombang penolakan dari elemen buruh serta mahasiswa. Mereka berdemontrasi menuntut pembatalan UU Cipta Kerja. Tak sedikit pula yang menyoal UU ini lantaran dinilai pembahasannya terkesan tergesa-gesa.
Bagaimana Kuswara, Praktisi Hukum Sukabumi mengurai persoalan ini dari kacamata hukum? Mengupas tuntas hal itu, Kuswara memberikan pemaparannya dalam acara Live Tamu Mang Koko edisi Sabtu, 10 Oktober 2020. Simak ulasan wawancara singkatnya berikut ini.
Bagaimana anda menyikapi pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja ini?
Ketika kita bicara pembentukan Undang-Undang, ada asas yang mendasarinya. Pertama asas filosofis, kedua asas sosilogis, ketiga asas yuridis.
Dari segi filosofis, apakah Undang-Undang yang dibentuk ini sudah memenuhi landasan fundamental masyarakat Indonesia? Sebagai contoh di Pancasila adalah Sila ke-5, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Ketika sebuah aturan tidak mempunyai legitimasi secara filosofis, berarti Undang-Undang tersebut tidak mendapatkan legitimasi di masyarakat ketika diberlakukan.
Lalu apakah Undang-Undang ini sudah memenuhi landasan sosiologis? Bagaimana harapan masyarakat Indonesia secara fundamental terhadap satu aturan yang akan dibentuk.
Kemudian asas yuridis. Apakah Undang-Undang yang dibentuk ini bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar? Apakah bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang yang sederajat. Menurut saya, Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ini tidak memenuhi ketiga asas tersebut.
Mengapa tidak memenuhi ketiga asas yang tadi disebutkan?
Ketika satu Undang-Undang telah mendapatkan sesuai dengan asas filosofis dan sosiologis, tidak mungkin ada penolakan yang sebegitu besar. Hanya hitungan jam, penolakan itu sudah luar biasa.
Proses pembuatan Undang-Undang kan sudah diikuti?
Sekarang gini, secara sosiologis saja, masyarakat Indonesia ini sedang konsentrasi bagaimana keluar dari masalah Covid-19. Secara sosiologis saja Undang-Undang ini dipaksakan.
Kemudian secara yuridis, Omnibus Law ini kan ibaratnya satu gerbong, satu aturan gabungan, menggabungkan beberapa aturan yang lain, supaya mempermudah mekanisme pembuatan Undang-Undang dan segala macam.
Apakah Omnibus Law ini cocok diterapkan di Indonesia?
Omnibus Law ini diterapkan di negara-negara yang dasarnya itu jajahan Inggris. Dan ini berkembang di Inggris. Apakah itu sudah sesuai dengan Indonesia? Dari segi fitroh hukumnya aja sudah enggak sesuai. Bagaimana kita bebicara filosofis, sosiologis dan yuridisnya Indonesia?
Secara sosiologis, kaum buruh ini sekarang sedang mati-matian bagaimana caranya keluar dari permasalahan Covid-19. Tiba-tiba ada aturan yang baru.
Kemudian secara yuridis, Omnibus Law ini hanya mengambil beberapa pasal. Misalnya Undang-Undang perburuhan beberapa pasal direvisi. Tapi Undang-Undang asalanya tidak. Ini kan permasalahan hukum. Ada istilah sengketa hukum, dimana hukum yang satu dengan lainnya itu bersengketa.
Undang-Undang Omnibus Law ini tidak sesederhana seperti membentuk Undang-Undang yang selama ini kita anut. Misalnya klaster perburuhan, ini perlu kajian mendalam. Sementara ini sekarang Omnibus Law mengakomodir 79 Undang-Undang. Dan merevisinya secara parsial.
Lalu semestinya bagaimana?
Adanya Omnibus Law ini kan tujuannya untuk menyederhanakan semua. Apa yang menjadi permasalahan bangsa ini, dari 11 klaster ini dibuat menjadi satu kesatuan dan mempermudah segala aspek.
Saya sepakat harus dipermudah, tapi dengan kehati-hatian. Jangan sampai itu tadi, secara filosofis, sosiologis dan yuridis tidak memenuhi. Kalau pembentukan Omnibus Law kita setuju, tapi dengan mekanisme yang elegan.
Simak wawancara selengkapnya dalam tayangan ulang Tamu Mang Koko Edisi 10 Oktober 2020 bertajuk "UU Cipta Kerja: Nasib Buruh dan Mimpi Investasi Sukabumi".