SUKABUMIUPDATE.com - Polemik dugaan jual-beli tanah negara di Blok Rawabolang, Desa Bojongjengkol, Kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi kian meruncing. Camat Jampang Tengah, Sabar Suko kemudian menepis jauh tudingan tersebut.
Sabar Suko menyebutkan, pihak kecamatan hanya ada kerja sama usaha antara pemilik modal dengan para petani penggarap lahan. Lalu, bagaimana Sabar Suko memaparkan polemik tersebut dari sudut pandangnya? Simak wawancara berikut saat Sabar Suko menjadi narasumber dalam acara Tamu Mang Koko edisi Sabtu, 5 September 2020.
Sebelum menjawab dugaan jual-beli tanah negara, bagaimana anda memandang persoalan ini?
Sebelum saya menjawab hal itu, kita sama-sama sepaham tujuannya ingin mensejahterakan masyarakat. Saya selaku unsur pemerintahan selalu berupaya untuk memberdayakan masyarakat.
Sama halnya dengan Serikat Petani Indonesia (SPI). Termasuk juga pemilik modal, di samping ingin berusaha, tentu juga ingin mensejahterakan masyarakat. Jadi kita jangan memperuncing perbedaan.
Ketika terus memperuncing perbedaan, maka akan memunculkan konflik. Akan jauh dari harapan kita mensejahterakan masyarakat.
Kondisi sebenarnya di lapangan seperti apa?
Selanjutnya, perlu saya sampaikan di sini. Saya tidak akan menjelaskan secara rinci peraturannya. Saya akan menyampaikan globalnya saja.
Setelah berlakunya Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), bahwasanya hak milik adat juga diatur sebagai tanah milik negara, dimana dalam UUPA ini ada delapan kepemilikan, yaitu hak milik, HGU, HGB, Hak Pakai, Hak Sewa, termasuk Hak untuk Hasil Hutan dan juga ada hak yang lain-lain.
Permasalahannya adalah, ketika perkembangan zaman, banyak masyarakat ini yang membuka lahan. Termasuk juga lahan bekas perusahaan, hak dari hasil penyisihan perusahaan ketika perpanjangan.
Untuk kepastian hukum, pemerintah sebetulnya sudah mengadakan pendaftaran tanah. Akan tetapi ternyata masyarakat banyak yang tidak mendaftarkan tanahnya untuk mendapatkan sertifikat.
Kenapa bisa seperti itu?
Bisa karena kekurangpahaman masyarakat, karena perlu biaya, karena kemampuan dari pemerintah itu sendiri, dalam hal ini BPN.
Ini harus dipahami, jangan sampai salah paham. Karena itu, yang terjadi adalah ketika masyarakat sudah menggarap lahan, maka itu dianggap sebagai pengelolaannya. Apabila ada orang yang mau menggarap lahan tersebut harus minta izin kepada penggarap terdahulu. Apabila diizinkan, penggarap yang terdahulu dianggap harus ada kompensasi biaya bekas membuka dan memelihara lahan.
Nah ini terus berkembang selama 40 tahun. Ini disebut tanah garapan. Akhirnya jadi istilahnya oper garap. Kembali kepada masalah jual beli lahan di Blok Rawabolang, kami di sini sebagai PPAT tidak merasa sudah melakukan jual beli tanah negara.
Kalau bukan jual beli tanah atau lahan negara, lalu apa?
Kami tidak pernah menerbitkan akta jual beli PPAT di Blok Rawabolang. Untuk itu kami mengundang kepala desa, pemodal, perwakilan penggarap, RT, RW, Polsek, Danramil. Dari situ kami mendapatkan informasi bahwa di situ tidak terjadi jual beli lahan.
Kami merasa tersudutkan, kami merasa terusik. Tidak ada jual beli lahan, yang ada kerja sama usaha antara pemilik modal dengan para penggarap. Dengan cara, pemilik modal memberikan kompensasi.
Bagaimana upaya anda agar masalah itu tidak semakin meruncing?
Pertama ada penggantian daripada hasil pemeliharaan oleh pengusaha. Kedua, untuk masyarakat yang bekerja, menanam, memelihara dan sebagainya, ini ada ganti semacam upah. Ketiga, hasil nanti panen ada 10 persen untuk penggarap. Jadi pemodal juga menyediakan berbagai jenis tanaman. Seperti alpukat, durian, mangga dan sebagainya. Itulah yang terjadi.